“Nia, ayo berangkat…..” berkali-kali Bapak memanggilku agar segera keluar. Tapi aku
tetap bersikukuh tidak mau keluar dari kamar. Aku mematung berjam-jam di dalam
kamar, melamun, menggerutu, bahkan memaki-maki. Bukan tanpa alasan aku
melakukan hal itu, sudah sering kali aku mengeluh tentang Si Butut itu. Tetapi
tetap saja Si Butut masih bertengger di dalam rumah. Aku muak melihat badannya
yang penuh jaitan dimana-mana. Apalagi dengan warna kulitnya yang sudah tidak
layak dipandang mata. Ditambah lagi suaranya yang terdengar sengau di telinga
membuatku semakin meradang. Cara berjalannya sudah tidak semenarik dulu. Bahkan
sekarang lebih mirip seekor bebek pincang yang menyeret-nyeret kakinya. Aku
berani jamin kalau Si Butut sudah tidak akan laku lagi di pasaran.
Lagi-lagi Bapak memanggil-manggil
namaku. Kali ini tidak hanya memanggil, tapi juga menyeret tanganku. Menyuruhku
untuk segera menaiki Si Butut. Tanpa harus menaikinya saja aku bisa merasakan
bagaimana sakitnya pantatku nanti jika menaikinya. Akan tetapi yang lebih sakit
lagi adalah perasaanku. Aku tidak berani membayangkan bagaimana orang-orang di
penjuru desa membicarakanku. Aku dengan Si Butut.
Aku sudah berkali-kali bilang ke
Bapak agar segera menjual Si Butut. Kalaupun harganya turun, itu lebih baik. Daripada
aku harus melihatnya berlama-lama di dalam rumah. Bapak selalu diam ketika aku
bersikeras menyuruh menjual Si Butut. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran
Bapak. Yang jelas, timbul suatu kesimpulan dalam pikiranku bahwa orang tua
selalu menyukai hal-hal yang sepadan dengan umurnya. Tapi aku tidak dapat
membuktikan kebenaran pikiranku itu. Pernah suatu ketika aku berniat menyelakai
Si Butut. Aku potong kabel-kabel yang melingkar di sekitar tubuhnya, baru aku
memegang gunting dan tinggal selangkah lagi rencanaku aku berhasil, tiba-tiba
saja Bapak muncul dari arah belakang Si Butut. Ah, rencanaku gagal. Tapi bukan
aku kalau putus asa sampai di situ. Aku masih punya segudang strategi untuk
melenyapkan Si Butut dari rumahku.
Pagi memang cerah, akan lebih cerah
lagi jika niatku melenyapkan Si Butut berhasil. Setiap pagi, Bapak selalu
meluangkan waktu menikmati kopi tubruk sebelum berangkat ke sawah. Pada saat
itulah aku akan melancarkan serangan. Kali ini bukan kabel yang akan menjadi
sasaranku, tapi kaki Si Butut. Ya, aku akan mengempeskan ban Si Butut. Seandainya rencanaku ini sukses,
aku akan melakukannya setiap hari. Lama-kelamaan, Bapak akan mengira bahwa Si
Butut memang benar-benar harus dijual. Hahahaha
Hari itu entah kenapa hatiku merasa
gelisah. Seharusnya aku senang karena berhasil melancarkan misiku menghancurkan
Si Butut setelah beberapa kali gagal. Aku memandang wajah Bapak. Beliau masih
duduk tenang sambil memegang semangkir kopi kesukaannya. Ya, kopi tumbruk
buatan Ibu. Wajah Bapak nampak berbeda dari hari-hari saat aku melihatnya
meminum kopi sebelumnya. Tiba-tiba saja aku mendengar benda keras terjatuh. Aku
mencari arah suara itu. Ternyata gelas yang dipegang Bapak. Aku berlari menuju
Bapak. Bapak telah tergeletak di samping kursi rotan. Aku berteriak. Aku
memanggil-manggil semua orang yang mungkin dapat mendengar suaraku. Seorang
tetangga mengusulkan membawa Bapak ke rumah sakit. Bapak harus segera dibawa ke
rumah sakit. Bapak memang telah lama mengidap penyakit paru-paru. Aku bergegas
menuju Si Butut karena itu satu-satunya kendaraan yang bisa untuk membawa Bapak
ke rumah sakit. Sewaktu aku menaikinya, aku baru sadar bahwa tadi aku telah
merusak semua ban Si Butut. Aku melukainya. Aku juga melukai Bapak.
Aku hanya bisa menangis di samping
Si Butut. Aku melihat Bapak dibawa menaiki motor tetanggaku. Aku tidak akan
memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu dengan Bapak. Aku berjanji akan
merawat Si Butut jika Bapak sembuh nanti. Aku tidak akan menghiraukan lagi
perkataan teman-temanku tentang Si Butut. Meskipun Si Butut berlumur tanah dari
sawah, kedua bannya terselip rumput-rumput tua sisa Bapak mencabut rumput untuk
makanan sapi, aku tidak akan malu lagi menaiki Si Butut. Aku akan menurut setiap kali Bapak memintaku
segera menaiki Si Butut untuk pergi ke sawah. Bahkan tanpa diminta pun aku akan
dengan senang hati menaiki Si Butut. Aku berjanji akan mencintai Si Butut sama
halnya Bapak mencintainya.
***
“Bapak….ayo berangkat…” pagi-pagi
sekali aku telah membersihkan seluruh tubuh Si Butut. Aku telah membersihkan
sisa-sisa tanah di sekitar rantai Si Butut yang sudah tidak tertutup itu. Aku
juga telah mengelap kedua bannya. Tidak lupa, aku memberinya pelicin biar semua
orang tau bahwa Si Butut telah muda lagi.
“Mengapa kamu selalu menyebut motor
tua Bapak ini dengan sebutan Si Butut….”
“Karena usianya setua Bapak”
“Berarti kamu juga memanggil Bapakmu
iki dengan sebutan Si Butut…”
“Mungkin……heheh”Bapak tiba-tiba saja
menjewer kupingku, Addow. Pagi itu adalah pagi terindah. Aku menaiki Si Butut
dengan Bapak. Menyusuri jalanan desa, menderu diantara padi yang menghijau.
Berkat Si Butut, Bapak tidak lagi berjalan kaki jika mengantar dan menjemputku
ke sekolah. Bapak juga tidak perlu berjalan lama untuk pergi ke sawah. Ketika
liburan tiba, Bapak selalu mengajakku ke pasar malam dengan Si Butut. Aku
benar-benar merasakan Si Butut telah kembali muda seperti saat pertama kali
Bapak memperkenalkan Si Butut padaku. Pada saat itu Bapak berkata “Dia akan
menjadi bagian dari hidup kita” pada waktu itu aku masih terlalu kecil
untuk memahami ucapan Bapak. Tetapi sekarang aku telah mengerti maksud ucapan
Bapak. Dan aku berharap Si Butut akan selamanya menjadi bagian dari hidupku.
Ya, hidupku dan Bapak.