“Kok tidak ada makanan Bukne, terus Pakne
makan apa?”
“Biasanya
juga cuma piring Pak yang ada di meja”
“Apa
Pakne harus makan piring-piring ini, Bukne….?”
“Minum
saja air yang ada di dapur Pakne, nanti juga kenyang.”
“Kalo kembung iya
Bukne. Bisa-bisa hari ini Pakne tidak ke sawah karena kalah dengan perut yang
keroncongan…”
“Bedakan
urusan perut dengan tangggung jawab Pakne mencari nafkah!”
“Salahkan
saja orang-orang yang telah ‘mencuri’ jatah makan kita, Bukne!”
“Lebih baik Pakne perbaiki
pagar di depan rumah yang sudah reok itu, biar lupa kalau perut Pakne sedang
keroncongan.”
“Lapar bukannya
disuruh makan, malah disuruh memperbaiki pagar. Bagaimana to Bukne iki.”
Tiba-tiba
dari arah depan rumah, terdengar langkah kaki
“Assalamualaikum….”
“Waalaikumslam….”
“Mari-mari
silahkan masuk Bapak-bapak.”
“Ini
Pak, silahkan…..” sambil mempersilakan masuk
“Rumah
Bapak dan Ibu sederhana sekali ya…”
“Betul,”
“Apa
Bapak dan Ibu hanya tinggal berdua?”
“Betul.”
“Bapak
dan Ibu bekerja sebagai petani?”
“Betul.”
“Maaf,
saya harus segera pergi.”
“Betul.”
Pakne dan Bukne tanpa sengaja memberikan jawaban yang sama dengan pertanyaan
sebelumnya.
Beberapa
menit setelah rombongan beberapa orang berkunjung ke rumah pasangan suami
istri, muncullah Pak Kades.
“Apa
rombongan tadi sudah datang?”
“Betul.”
“Apa
yang kalian suguhkan untuk menyambut mereka?’
“Cuma
yang terlihat di meja itu, Pak Kades.”
“Segelas
air putih?????”
“Betul
Pak Kades.”
“Owalah
piye to Pak Kartam dan Bu Pariyem iki, yang datang tadi Pak Camat dan rombongan
yang sedang berkunjung ke desa-desa untuk survei rumah. Tamu terhormat. Tamu
istimewa. Seharusnya diberi hidangan yang enak-enak, seharusnya keluarkan semua
makanan yang kalian punya.” Pak Kades dengan tergesa-gesa mengejar rombongan
Pak Camat yang baru saja meninggalkan rumah Pak Kartam dan Bu Pariyem.
“Kita
kan sudah menyuguhkan semua yang kita punya, Pakne” Pasangan suami
istri itu berpandangan dengan ekspresi polos seperti tidak terjadi apa-apa.