.

Tanah Berlian

            “Ayo semuanya masuk!!” satu persatu tenaga kerja wanita dari penjuru negara Asia itu diangkut layaknya sampah yang akan dibawa ke tempat pembuangan akhir. Harapan mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik nampaknya tidak akan mudah. Sama halnya dengan Minah, semua berangkat dengan membawa doa dari keluarga demi perbaikan masa depan. Mereka merelakan cita-citanya dan memilih menjadi TKW untuk menambal hutang keluarga.
            “Kalian tahu kita akan dibawa kemana?” Minah berusaha bertanya kepada wanita paruh baya yang duduk di sampingnya.
            “Saya juga orang baru di sini.” Tentunya bukan itu jawaban yang diharapkan Minah.
            “Bukannya sesuai kontrak kita seharusnya sudah berada di tempat pembinaan.” Celetuk wanita lain yang kebetulan juga dari Indonesia sehingga Minah mengerti apa yang diucapkannya. Hati Minah mulai gundah. Ia menangkap gerak gerik mencurigakan sejak ia sampai di pelabuhan entah di mana. Beberapa petugas selalu mengalihkan pembicaraan ketika hendak ditanya. Petugas itu seperti sudah terlatih untuk menyembunyikan informasi.
            “Besok pagi kita akan sampai di tempat tujuan.” Minah semakin curiga mendengar ucapan petugas yang sejak tadi mondar-mandir menghitung jumlah kami. Minah semakin penasaran akan berujung kemana perjalanannya. Pikirannya semakin tak menentu. Bahkan ia sempat berpikir akan dijual ke tempat prostitusi seperti yang sering ia lihat di televisi. Lebih dari sembilan jam perjalanan kami diangkut dengan dump truk seperti membawa barang yang siap dikemas dan dijual.
            “Cepat turunkan juga semua barang kalian!!” Beberapa petugas sudah berdiri rapi ketika rombongan kami tiba. Benda-benda elektronik disita. Bergiliran nama kami dipanggil, butuh berjam-jam untuk menyelesaikan karena jumlah kami hampir ratusan. Para petugas telah membawa data diri kami. Kami dipaksa berjalan di tengah malam tanpa penerangan. Sesekali kami harus menahan sakit karena melintasi bebatuan terjal. Kami mulai bergandengan tangan meski belum saling kenal, yang kami tahu, kami harus terus berjalan jika ingin selamat. Beberapa wanita terjatuh karena gelapnya malam. Kami jelas berada di tempat yang salah. Petugas mulai berteriak-teriak bahkan memaki. Yang kami heran adalah petugas-petugas itu juga seorang wanita.
            Ketika hari mulai menyibakkan fajar, samar-samar kami menangkap bayangan aneh. Bayangan itu perlahan semakin jelas. Kami berdiri tepat di tengah lautan manusia. Apa yang sedang mereka lakukan?? pertanyaan itu yang pertama muncul di benak Minah. Ada yang membawa cangkul, menenteng sekrup, pengungkit, linggis, persis seorang penambang atau penggali. Pelayaran kami dari rumah menaiki kapal melintasi beberapa malam terbayar dengan dataran tandus. Kami dipaksa melihat adegan keji. Seorang wanita kurus termakan borok dicambuk berkali-kali hingga ia tersungkur. Tak satupun suara membelanya apalagi membantunya. Gagak menunggu calon bangkai. Minah melihat neraka, jantungnya semakin kuat berdetak.
            “Rombongan yang baru tiba, siapkan diri kalian untuk menggali tambang berlian.” Dimana aku sekarang?? Apakah aku masih berada di kapal dan bermimpi?? Oh, semoga benar ini hanya mimpi buruk yang biasa dialami TKW. Minah mulai kalut.
            “Jangan ada kata mengeluh, keruk semua yang ada di depan kalian!” petugas berbadan tambun mulai meneriaki kami. Dia pimpinan, selalu membawa cambuk dan senapan di kantong celana kanan dan kirinya. Ada pula petugas yang bertugas mengawasi cara kami menambang. Ia tak akan segan memaki kami dengan umpatan kotor bahkan menyumpai keluarga kami bila terjadi kekeliruan. Jika kami tidak terima, cambuk atau sayatan pisau akan melayang di tubuh kami. Mereka lebih suka menyiksa perlahan-lahan dibanding membunuh kami secara langsung.
Petugas-petugas bertopi dengan seragam yang bertuliskan deretan huruf yang sulit untuk dikenali itu, tiap sebulan sekali memeriksa kesehatan kami. Mereka seperti memilih kacang yang hendak dimakan dan dibuang. Mereka menempatkan kami sesuai umur. TKW yang berumur di atas 30 tahun akan di tempatkan di ruang isolasi, dan yang berumur jamur, panggilan untuk TKW di bawah 30 tahun akan ditempatkan di ruang terbuka. Tentunya kami harus berbagi dalam segala hal dengan ratusan wanita lain. Setelah sebulan menjalani kerja paksa, Minah baru mengetahui jika ia berada di kota Namibia, jaraknya beberapa kilometer setelah pelabuhan Luderitz.
Semakin hari perlakuan petugas-petugas itu semakin keji. Wanita yang sudah tua dibiarkan terlantar tanpa diurusi, borok yang menggerogoti tubuhnya dibiarkan menganga. Hampir setiap hari kami menemukan timbunan mayat di area penambangan berlian. Setiap dua minggu sekali akan ada truk pengangkut sampah-sampah manusia. Ya, petugas itu menyebut kami sampah manusia. Dalam sehari kami hanya diberi waktu sejam untuk istirahat, termasuk makan dan buang hajat. Jika lebih dari itu, kami akan dijadikan santapan penjepit tikus. Sebuah alat yang dirancang khusus untuk menyiksa tawanan yang melanggar aturan.
§         
            Minah masih belum percaya dengan apa yang dialami. Ia teringat adik-adiknya di rumah. Minah ingin kembali ke kampung halamannya, ia rindu negaranya, rindu memeluk negeranya yang permai di bawah zamrut khatulistiwa. Benar kata orang bahwa hujan batu di negara sendiri lebih enak dibanding hujan emas di negara orang. Ia merasakan gejolak batin luar biasa. Menjalani hari-hari di tempat itu bagai mendekam di kuburan. Pagi tak lagi menghasilkan bulir kesejukan, matahari siang seolah mengutuk tempat itu dengan keganasannya, keremangan sore mengabarkan kematian akan segera menjemput, dan malam selalu berlalu tanpa sinar rembulan. Burung-burung takut melintasi langit kota itu. Hujan pun tanpa sudi untuk singgah sebentar sekadar membahasahi buminya. Minah sering mendengar tangisan wanita-wanita senasib dengannya di tengah malam. Mereka meratapi nasibnya. Kepergian mereka menjadi TKW, termasuk Minah sendiri membawa harapan besar bagi keluarga. Di sini harapan itu dipermainkan. Janji-janji yang diberikan petugas imigrasi kepada seluruh TKW hanyalah isapan jempol belaka. Iming-iming kerja layak, gaji besar, pulang bisa membangun bisnis sendiri, semua itu pupus sudah. Minah tidak habis pikir kenapa dia dan TKW lainnya bisa sampai di neraka yang tidak memberi ampun itu, padahal dia sudah mengikuti prosedur yang ada. Minah menjadi TKW secara legal, ia telah membayar sejumlah uang ke lembaga yang menyalurkannya. Ah, apapun itu, semua sudah terjadi, satu keinginannya, segera meninggalkan kota terkutuk itu.
“Mengapa di tempat terpencil seperti ini bisa menghasilkan berlian?”
            “Dahulu kala, orang-orang yang hidup di sini adalah kaum bangsawan.”
            “Apa kamu tidak tahu mengenai rumor tanah berlian?”
            “Para petugas menyebut tanah ini sebagai tanah berlian atau luderic. Banyak berlian yang tertimbun di tiap jengkal tanahnya.
            “Lalu kemana penduduk yang tinggal di sini?”
            “Ratusan tahun yang lalu, terjadi peperangan di kota ini, semua penduduk mengungsi dan tak sempat membawa harta mereka. Sekarang menjadi kota mati.” Rumor mengenai tanah berlian sudah tidak asing lagi, baik dikalangan penambang maupun petugas. Semua beranggapan bahwa tanah di kota itu penuh timbunan berlian. Ribuan orang berlomba-lomba untuk menemukan kota mati (kolmanskop) dan berharap bisa mengeruk semua kekayaan di dalamnya.
            Ceruk-ceruk bekas penambangan menambah keseraman kota itu di kala malam. Tata kota yang sekarang menjadi pusat penambangan itu sekilas mirip istana pasir dari bentuk bangunan. Ibarat saksi sejarah, sekarang hanya menyisakan puing-puing kejayaan di masa lalu. Beberapa pemandian dibangun dengan arsitektur mewah. Berdiri pula bekas patung-patung simbol keagungan kota. Bisa dibayangkan betapa kemakmuran dulu menyelimuti penduduk kota. Mungkin itu alasan paling logis kota itu disebut tanah berlian.
Kami bekerja sebelum ayam mulai berkokok dan berakhir sampai bulan enggan menampakkan sinarnya. Kerja keras kami tidak sebanding dengan hasil yang kami dapat. Dalam sehari tiap orang bisa mendapatkan bergram-gram berlian sehingga dalam sehari ribuan diamond terbaik bisa terkumpul. Jumlah yang tidak mungkin bisa dibayangkan orang seperti Minah dan kawan-kawannya. Berlian yang didapat terkadang berupa pecahan-pecahan, tetapi tidak jarang berupa cincin, kalung, bahkan perabot berlian. Terselib juga batu zamrut, safir, atau rubi dari timbunan pasir. Kami menggali, mengeruk, mengayak pasir demi memenuhi hasrat petugas-petugas rakus itu. Berlian-berlian yang sudah terkumpul akan dibawa dengan mobil. Sekilas mobil itu menyerupai pengangkut sampah, mungkin untuk mengelabuhi petugas pelabuhan. Jika dalam 6 bulan tubuh kami sehat, kami akan mendapat kenaikan upah, tetapi jika kerja kami menurun, cambukan akan menjadi upah kami. Jika ada wanita yang meninggal, keluarganya akan mendapat kompensasi dengan alasan keteledoran saat bekerja. Kata “manusia” tidak lagi tepat untuk para petugas berseragam itu.
§       
            “Pergi. Pergi. pergi!!” Awalnya suara itu terdengar pelan hingga akhirnya semakin keras dan bertambah keras. Dalam mimpinya, Minah mendengar suara orang meraung-raung hingga ia bisa merasakan nafas suara itu. Ia tercekik dengan mimpinya. Minah menjumpai kota mati dalam mimpinya, tetapi nampak indah dengan kastil-kastil menjulang dihiasi berlian. Kerumunan orang lalu-lalang melakukan transaksi jual beli berlian. Banyak pula diantara mereka yang terlihat berjudi. Anak-anak kecil bermain saling melempar buah. Kota itu bak demam berlian. Tiba-tiba datanglah gulungan pasir menelan penduduk tanpa ampun. Tak satupun diantara mereka yang selamat. Teriakan. Jeritan. Semakin keras jeritan orang-orang itu seolah meminta tolong, mengutuk. Penduduk tanah berlian hidup dalam mimpi Minah.
            Tidak bisa dipungkiri mimpi Minah begitu menguras pikirannya. Hari itu ia susah berkonsentrasi. Apa arti mimpinya? mungkinkah hanya mimpi biasa sebagai akibat dari kegelisahannya selama ini? Minah berusaha melupakan mimpi itu. Akan tetapi, setiap hari ia memimpikan hal yang sama. Sebuah kota tertimbun pasir. Minah tidak tahu harus bercerita kepada siapa mengenai mimpinya. Para wanita sibuk memikirkan nasib mereka, mana mungkin mereka bersedia mendengarkan mimpi.
            Genap dua bulan Minah di kota mati itu, tapi serasa seabad. Kejadian demi kejadian telah ia saksikan. Penambang yang mati mengenaskan gantung diri, penambang yang mencoba kabur dan berakhir dipenjepit tikus, atau mengenai penambang yang hilang tak berjejak. Akhir-akhir ini para petugas disibukkan dengan banyaknya penambang yang hilang tanpa sebab. Tengah malam sering terdengar jeritan melolong dan esok hari jumlah penambang yang hilang akan bertambah. Kami sesama penggali berlian tidak bisa memastikan bagaimana hilangnya penambang karena kami berbeda bahasa dan hanya sedikit waktu berkomunikasi. Minah yang sudah dua bulan, baru mengenal empat orang diantara ratusan penambang lain. Ketika tengah malam tiba, penambang-penambang meringkuk dan tak banyak bergerak. Jeritan itu terdengar lagi. Esok diketahui bahwa seorang petugas yang berjaga malam telah lenyap. Sekarang kegelisahan dan ketakutan dirasakan pula oleh petugas. Mereka awalnya meremehkan kejadian hilangnya para penambang, tetapi sekarang mereka saling menyalahkan. Rasa takut menyelimuti kota mati, mencekam hati siapa saja.
            “Segala sesuatu pasti ada pemiliknya. Mereka akan mengutuk kita jika mengambil sesuatu tanpa izin. Akan ada banyak korban lain. Kita harus segera menghentikan penambangan ini.”
“Beraninya kamu bicara seperti itu. Lancang!” petugas menjambak rambut Minah yang tiba-tiba berbicara lantang di hadapan semua penambang dan petugas.
“Saya tahu bahwa rumor yang kalian ciptakan di kalangan TKW semua itu bohong. Penduduk tanah berlian tidak mengungsi karena terjadi peperangan seperti yang kalian ceritakan. Mereka semua tertimbun pasir akibat keserahan mereka akan berlian.” Mendengar ucapan Minah yang tetap lantang meski ia kesakitan, semua kaget, mereka gaduh. Tetapi ada juga yang masih meragukan cerita Minah, terutama para petugas. Mereka justru menghakimi Minah. Minah dianggap telah mencemarkan nama baik dengan membuat cerita palsu. Nasib Minah diujung tanduk.
            Minah diseret secara paksa ke sebuah terowongan tempat penyiksaan. Apa yang akan diterima di terowongan itu lebih menyakitkan dibanding penjepit tikus. Minah tidak diberi makan selama dua hari. Dia dikurung berteman gelap. Nasibnya benar-benar akan berakhir dalam terowongan jika ia tidak segera keluar. Hidung Minah mulai tidak bisa mencium apapun, badannya gemetar akibat udara dingin di kala malam. Minah sering mengigau dalam tidurnya. Ia masih sering memimpikan kota yang tertimbun pasir. Minah mendengar jeritan. Kali ini jeritan itu nyata. Orang-orang menjerit persis seperti dalam mimpi Minah. Pasir telah menggulung-gulung di atas awan. Setiap butiran pasir yang berterbangan menyimpan kutukan, membentuk gumpalan pasir. Badai pasir siap mencengkram siapa saja yang ditemui. Guncangan dahsyat menyambar bebukitan dan bangunan tua di kota mati. Penambang dan para petugas kalang kabut mencari perlindungan. Mata Minah menyibak kenangan bersama keluarganya. Pandangan Minah kabur, temaram ia melihat bayangan orangtuanya, senyum mereka mengembang mengalahkan bunga-bunga yang bermekaran di taman firdaus. Di dalam terowongan, Minah hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang terjadi, dilihatnya satu kakinya telah tertelan pasir. Ini nyata.
§       
“Benarkah mbak akan menerima tawaran kang Karjo?”
“Ini satu-satunya pilihan yang mbak harus lakukan untuk memenuhi kebutuhan kita, Ning. ” Ini bukan kali pertama Ning yang masih duduk di sekolah menengah pertama itu membujuk Minah, kakaknya untuk tidak pergi bekerja menjadi TKW. Tetapi keinginan Minah sudah bulat, habis akal Ning mencari cara untuk menghalangi niat Minah. Minah beralasan bahwa bekerja di negara sendiri tidak akan mampu memperbaiki keuangan keluarga yang semakin menipis setelah ibu dan ayah mereka meninggal. Minah baru lulus sekolah menengah atas beberapa bulan yang lalu, tapi ia sudah memikirkan nasib keluarganya. Ia satu-satunya tulang punggung keluarga bagi kedua adiknya, Ning dan Agus yang masih duduk di sekolah dasar. Minah memendam keinginannya untuk melanjutkan kuliah dan lebih memilih bekerja demi masa depan keluarganya.
            Minah mungkin tidak bisa menggantikan fungsi kedua orangtuanya bagi adik-adiknya. Tetapi pantang baginya melihat kedua adiknya putus sekolah meski ia harus mengubur cita-citanya sendiri. Bila perlu, Minah akan menghabiskan masa umurnya membiayai hidup adik-adiknya. Dan menjadi TKW adalah pilihan satu-satunya Terkadang memang seseorang harus memilih pilihan yang sulit. Tidak sesederhana pilihan ganda dalam soal ujian sekolah.


                                                                                    Edc. Misteri

                                                                                    Tuban, 01 Februari 2013

One Response to “ ”

  1. Husnia S says:

    Edc. Manisan....chek it out!!

Your Reply

Tanah Berlian

            “Ayo semuanya masuk!!” satu persatu tenaga kerja wanita dari penjuru negara Asia itu diangkut layaknya sampah yang akan dibawa ke tempat pembuangan akhir. Harapan mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik nampaknya tidak akan mudah. Sama halnya dengan Minah, semua berangkat dengan membawa doa dari keluarga demi perbaikan masa depan. Mereka merelakan cita-citanya dan memilih menjadi TKW untuk menambal hutang keluarga.
            “Kalian tahu kita akan dibawa kemana?” Minah berusaha bertanya kepada wanita paruh baya yang duduk di sampingnya.
            “Saya juga orang baru di sini.” Tentunya bukan itu jawaban yang diharapkan Minah.
            “Bukannya sesuai kontrak kita seharusnya sudah berada di tempat pembinaan.” Celetuk wanita lain yang kebetulan juga dari Indonesia sehingga Minah mengerti apa yang diucapkannya. Hati Minah mulai gundah. Ia menangkap gerak gerik mencurigakan sejak ia sampai di pelabuhan entah di mana. Beberapa petugas selalu mengalihkan pembicaraan ketika hendak ditanya. Petugas itu seperti sudah terlatih untuk menyembunyikan informasi.
            “Besok pagi kita akan sampai di tempat tujuan.” Minah semakin curiga mendengar ucapan petugas yang sejak tadi mondar-mandir menghitung jumlah kami. Minah semakin penasaran akan berujung kemana perjalanannya. Pikirannya semakin tak menentu. Bahkan ia sempat berpikir akan dijual ke tempat prostitusi seperti yang sering ia lihat di televisi. Lebih dari sembilan jam perjalanan kami diangkut dengan dump truk seperti membawa barang yang siap dikemas dan dijual.
            “Cepat turunkan juga semua barang kalian!!” Beberapa petugas sudah berdiri rapi ketika rombongan kami tiba. Benda-benda elektronik disita. Bergiliran nama kami dipanggil, butuh berjam-jam untuk menyelesaikan karena jumlah kami hampir ratusan. Para petugas telah membawa data diri kami. Kami dipaksa berjalan di tengah malam tanpa penerangan. Sesekali kami harus menahan sakit karena melintasi bebatuan terjal. Kami mulai bergandengan tangan meski belum saling kenal, yang kami tahu, kami harus terus berjalan jika ingin selamat. Beberapa wanita terjatuh karena gelapnya malam. Kami jelas berada di tempat yang salah. Petugas mulai berteriak-teriak bahkan memaki. Yang kami heran adalah petugas-petugas itu juga seorang wanita.
            Ketika hari mulai menyibakkan fajar, samar-samar kami menangkap bayangan aneh. Bayangan itu perlahan semakin jelas. Kami berdiri tepat di tengah lautan manusia. Apa yang sedang mereka lakukan?? pertanyaan itu yang pertama muncul di benak Minah. Ada yang membawa cangkul, menenteng sekrup, pengungkit, linggis, persis seorang penambang atau penggali. Pelayaran kami dari rumah menaiki kapal melintasi beberapa malam terbayar dengan dataran tandus. Kami dipaksa melihat adegan keji. Seorang wanita kurus termakan borok dicambuk berkali-kali hingga ia tersungkur. Tak satupun suara membelanya apalagi membantunya. Gagak menunggu calon bangkai. Minah melihat neraka, jantungnya semakin kuat berdetak.
            “Rombongan yang baru tiba, siapkan diri kalian untuk menggali tambang berlian.” Dimana aku sekarang?? Apakah aku masih berada di kapal dan bermimpi?? Oh, semoga benar ini hanya mimpi buruk yang biasa dialami TKW. Minah mulai kalut.
            “Jangan ada kata mengeluh, keruk semua yang ada di depan kalian!” petugas berbadan tambun mulai meneriaki kami. Dia pimpinan, selalu membawa cambuk dan senapan di kantong celana kanan dan kirinya. Ada pula petugas yang bertugas mengawasi cara kami menambang. Ia tak akan segan memaki kami dengan umpatan kotor bahkan menyumpai keluarga kami bila terjadi kekeliruan. Jika kami tidak terima, cambuk atau sayatan pisau akan melayang di tubuh kami. Mereka lebih suka menyiksa perlahan-lahan dibanding membunuh kami secara langsung.
Petugas-petugas bertopi dengan seragam yang bertuliskan deretan huruf yang sulit untuk dikenali itu, tiap sebulan sekali memeriksa kesehatan kami. Mereka seperti memilih kacang yang hendak dimakan dan dibuang. Mereka menempatkan kami sesuai umur. TKW yang berumur di atas 30 tahun akan di tempatkan di ruang isolasi, dan yang berumur jamur, panggilan untuk TKW di bawah 30 tahun akan ditempatkan di ruang terbuka. Tentunya kami harus berbagi dalam segala hal dengan ratusan wanita lain. Setelah sebulan menjalani kerja paksa, Minah baru mengetahui jika ia berada di kota Namibia, jaraknya beberapa kilometer setelah pelabuhan Luderitz.
Semakin hari perlakuan petugas-petugas itu semakin keji. Wanita yang sudah tua dibiarkan terlantar tanpa diurusi, borok yang menggerogoti tubuhnya dibiarkan menganga. Hampir setiap hari kami menemukan timbunan mayat di area penambangan berlian. Setiap dua minggu sekali akan ada truk pengangkut sampah-sampah manusia. Ya, petugas itu menyebut kami sampah manusia. Dalam sehari kami hanya diberi waktu sejam untuk istirahat, termasuk makan dan buang hajat. Jika lebih dari itu, kami akan dijadikan santapan penjepit tikus. Sebuah alat yang dirancang khusus untuk menyiksa tawanan yang melanggar aturan.
§         
            Minah masih belum percaya dengan apa yang dialami. Ia teringat adik-adiknya di rumah. Minah ingin kembali ke kampung halamannya, ia rindu negaranya, rindu memeluk negeranya yang permai di bawah zamrut khatulistiwa. Benar kata orang bahwa hujan batu di negara sendiri lebih enak dibanding hujan emas di negara orang. Ia merasakan gejolak batin luar biasa. Menjalani hari-hari di tempat itu bagai mendekam di kuburan. Pagi tak lagi menghasilkan bulir kesejukan, matahari siang seolah mengutuk tempat itu dengan keganasannya, keremangan sore mengabarkan kematian akan segera menjemput, dan malam selalu berlalu tanpa sinar rembulan. Burung-burung takut melintasi langit kota itu. Hujan pun tanpa sudi untuk singgah sebentar sekadar membahasahi buminya. Minah sering mendengar tangisan wanita-wanita senasib dengannya di tengah malam. Mereka meratapi nasibnya. Kepergian mereka menjadi TKW, termasuk Minah sendiri membawa harapan besar bagi keluarga. Di sini harapan itu dipermainkan. Janji-janji yang diberikan petugas imigrasi kepada seluruh TKW hanyalah isapan jempol belaka. Iming-iming kerja layak, gaji besar, pulang bisa membangun bisnis sendiri, semua itu pupus sudah. Minah tidak habis pikir kenapa dia dan TKW lainnya bisa sampai di neraka yang tidak memberi ampun itu, padahal dia sudah mengikuti prosedur yang ada. Minah menjadi TKW secara legal, ia telah membayar sejumlah uang ke lembaga yang menyalurkannya. Ah, apapun itu, semua sudah terjadi, satu keinginannya, segera meninggalkan kota terkutuk itu.
“Mengapa di tempat terpencil seperti ini bisa menghasilkan berlian?”
            “Dahulu kala, orang-orang yang hidup di sini adalah kaum bangsawan.”
            “Apa kamu tidak tahu mengenai rumor tanah berlian?”
            “Para petugas menyebut tanah ini sebagai tanah berlian atau luderic. Banyak berlian yang tertimbun di tiap jengkal tanahnya.
            “Lalu kemana penduduk yang tinggal di sini?”
            “Ratusan tahun yang lalu, terjadi peperangan di kota ini, semua penduduk mengungsi dan tak sempat membawa harta mereka. Sekarang menjadi kota mati.” Rumor mengenai tanah berlian sudah tidak asing lagi, baik dikalangan penambang maupun petugas. Semua beranggapan bahwa tanah di kota itu penuh timbunan berlian. Ribuan orang berlomba-lomba untuk menemukan kota mati (kolmanskop) dan berharap bisa mengeruk semua kekayaan di dalamnya.
            Ceruk-ceruk bekas penambangan menambah keseraman kota itu di kala malam. Tata kota yang sekarang menjadi pusat penambangan itu sekilas mirip istana pasir dari bentuk bangunan. Ibarat saksi sejarah, sekarang hanya menyisakan puing-puing kejayaan di masa lalu. Beberapa pemandian dibangun dengan arsitektur mewah. Berdiri pula bekas patung-patung simbol keagungan kota. Bisa dibayangkan betapa kemakmuran dulu menyelimuti penduduk kota. Mungkin itu alasan paling logis kota itu disebut tanah berlian.
Kami bekerja sebelum ayam mulai berkokok dan berakhir sampai bulan enggan menampakkan sinarnya. Kerja keras kami tidak sebanding dengan hasil yang kami dapat. Dalam sehari tiap orang bisa mendapatkan bergram-gram berlian sehingga dalam sehari ribuan diamond terbaik bisa terkumpul. Jumlah yang tidak mungkin bisa dibayangkan orang seperti Minah dan kawan-kawannya. Berlian yang didapat terkadang berupa pecahan-pecahan, tetapi tidak jarang berupa cincin, kalung, bahkan perabot berlian. Terselib juga batu zamrut, safir, atau rubi dari timbunan pasir. Kami menggali, mengeruk, mengayak pasir demi memenuhi hasrat petugas-petugas rakus itu. Berlian-berlian yang sudah terkumpul akan dibawa dengan mobil. Sekilas mobil itu menyerupai pengangkut sampah, mungkin untuk mengelabuhi petugas pelabuhan. Jika dalam 6 bulan tubuh kami sehat, kami akan mendapat kenaikan upah, tetapi jika kerja kami menurun, cambukan akan menjadi upah kami. Jika ada wanita yang meninggal, keluarganya akan mendapat kompensasi dengan alasan keteledoran saat bekerja. Kata “manusia” tidak lagi tepat untuk para petugas berseragam itu.
§       
            “Pergi. Pergi. pergi!!” Awalnya suara itu terdengar pelan hingga akhirnya semakin keras dan bertambah keras. Dalam mimpinya, Minah mendengar suara orang meraung-raung hingga ia bisa merasakan nafas suara itu. Ia tercekik dengan mimpinya. Minah menjumpai kota mati dalam mimpinya, tetapi nampak indah dengan kastil-kastil menjulang dihiasi berlian. Kerumunan orang lalu-lalang melakukan transaksi jual beli berlian. Banyak pula diantara mereka yang terlihat berjudi. Anak-anak kecil bermain saling melempar buah. Kota itu bak demam berlian. Tiba-tiba datanglah gulungan pasir menelan penduduk tanpa ampun. Tak satupun diantara mereka yang selamat. Teriakan. Jeritan. Semakin keras jeritan orang-orang itu seolah meminta tolong, mengutuk. Penduduk tanah berlian hidup dalam mimpi Minah.
            Tidak bisa dipungkiri mimpi Minah begitu menguras pikirannya. Hari itu ia susah berkonsentrasi. Apa arti mimpinya? mungkinkah hanya mimpi biasa sebagai akibat dari kegelisahannya selama ini? Minah berusaha melupakan mimpi itu. Akan tetapi, setiap hari ia memimpikan hal yang sama. Sebuah kota tertimbun pasir. Minah tidak tahu harus bercerita kepada siapa mengenai mimpinya. Para wanita sibuk memikirkan nasib mereka, mana mungkin mereka bersedia mendengarkan mimpi.
            Genap dua bulan Minah di kota mati itu, tapi serasa seabad. Kejadian demi kejadian telah ia saksikan. Penambang yang mati mengenaskan gantung diri, penambang yang mencoba kabur dan berakhir dipenjepit tikus, atau mengenai penambang yang hilang tak berjejak. Akhir-akhir ini para petugas disibukkan dengan banyaknya penambang yang hilang tanpa sebab. Tengah malam sering terdengar jeritan melolong dan esok hari jumlah penambang yang hilang akan bertambah. Kami sesama penggali berlian tidak bisa memastikan bagaimana hilangnya penambang karena kami berbeda bahasa dan hanya sedikit waktu berkomunikasi. Minah yang sudah dua bulan, baru mengenal empat orang diantara ratusan penambang lain. Ketika tengah malam tiba, penambang-penambang meringkuk dan tak banyak bergerak. Jeritan itu terdengar lagi. Esok diketahui bahwa seorang petugas yang berjaga malam telah lenyap. Sekarang kegelisahan dan ketakutan dirasakan pula oleh petugas. Mereka awalnya meremehkan kejadian hilangnya para penambang, tetapi sekarang mereka saling menyalahkan. Rasa takut menyelimuti kota mati, mencekam hati siapa saja.
            “Segala sesuatu pasti ada pemiliknya. Mereka akan mengutuk kita jika mengambil sesuatu tanpa izin. Akan ada banyak korban lain. Kita harus segera menghentikan penambangan ini.”
“Beraninya kamu bicara seperti itu. Lancang!” petugas menjambak rambut Minah yang tiba-tiba berbicara lantang di hadapan semua penambang dan petugas.
“Saya tahu bahwa rumor yang kalian ciptakan di kalangan TKW semua itu bohong. Penduduk tanah berlian tidak mengungsi karena terjadi peperangan seperti yang kalian ceritakan. Mereka semua tertimbun pasir akibat keserahan mereka akan berlian.” Mendengar ucapan Minah yang tetap lantang meski ia kesakitan, semua kaget, mereka gaduh. Tetapi ada juga yang masih meragukan cerita Minah, terutama para petugas. Mereka justru menghakimi Minah. Minah dianggap telah mencemarkan nama baik dengan membuat cerita palsu. Nasib Minah diujung tanduk.
            Minah diseret secara paksa ke sebuah terowongan tempat penyiksaan. Apa yang akan diterima di terowongan itu lebih menyakitkan dibanding penjepit tikus. Minah tidak diberi makan selama dua hari. Dia dikurung berteman gelap. Nasibnya benar-benar akan berakhir dalam terowongan jika ia tidak segera keluar. Hidung Minah mulai tidak bisa mencium apapun, badannya gemetar akibat udara dingin di kala malam. Minah sering mengigau dalam tidurnya. Ia masih sering memimpikan kota yang tertimbun pasir. Minah mendengar jeritan. Kali ini jeritan itu nyata. Orang-orang menjerit persis seperti dalam mimpi Minah. Pasir telah menggulung-gulung di atas awan. Setiap butiran pasir yang berterbangan menyimpan kutukan, membentuk gumpalan pasir. Badai pasir siap mencengkram siapa saja yang ditemui. Guncangan dahsyat menyambar bebukitan dan bangunan tua di kota mati. Penambang dan para petugas kalang kabut mencari perlindungan. Mata Minah menyibak kenangan bersama keluarganya. Pandangan Minah kabur, temaram ia melihat bayangan orangtuanya, senyum mereka mengembang mengalahkan bunga-bunga yang bermekaran di taman firdaus. Di dalam terowongan, Minah hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang terjadi, dilihatnya satu kakinya telah tertelan pasir. Ini nyata.
§       
“Benarkah mbak akan menerima tawaran kang Karjo?”
“Ini satu-satunya pilihan yang mbak harus lakukan untuk memenuhi kebutuhan kita, Ning. ” Ini bukan kali pertama Ning yang masih duduk di sekolah menengah pertama itu membujuk Minah, kakaknya untuk tidak pergi bekerja menjadi TKW. Tetapi keinginan Minah sudah bulat, habis akal Ning mencari cara untuk menghalangi niat Minah. Minah beralasan bahwa bekerja di negara sendiri tidak akan mampu memperbaiki keuangan keluarga yang semakin menipis setelah ibu dan ayah mereka meninggal. Minah baru lulus sekolah menengah atas beberapa bulan yang lalu, tapi ia sudah memikirkan nasib keluarganya. Ia satu-satunya tulang punggung keluarga bagi kedua adiknya, Ning dan Agus yang masih duduk di sekolah dasar. Minah memendam keinginannya untuk melanjutkan kuliah dan lebih memilih bekerja demi masa depan keluarganya.
            Minah mungkin tidak bisa menggantikan fungsi kedua orangtuanya bagi adik-adiknya. Tetapi pantang baginya melihat kedua adiknya putus sekolah meski ia harus mengubur cita-citanya sendiri. Bila perlu, Minah akan menghabiskan masa umurnya membiayai hidup adik-adiknya. Dan menjadi TKW adalah pilihan satu-satunya Terkadang memang seseorang harus memilih pilihan yang sulit. Tidak sesederhana pilihan ganda dalam soal ujian sekolah.


                                                                                    Edc. Misteri

                                                                                    Tuban, 01 Februari 2013

1 komentar:

Husnia S mengatakan...

Edc. Manisan....chek it out!!

Posting Komentar