Sebuah Truk Pengantar Bintang


.

Sebuah Truk Pengantar Bintang

            “Pak, minggu depan kulo ajeng nikah”
            “Koburu-burutole?”
            “Kalau bapak tidak bisa hadir, tidak apa-apa. Pernikahan akan tetap berlangsung”
            Lelaki tua itu terlihat risau setelah menerima telepon dari anak semata wayangnya di Jakarta. Pernikahan adalah hal yang sangat sakral. Perkataan anaknya, Dayu bahwa ia akan tetap menikah dengan atau tanpa kehadiran sosok lelaki tua itu, betapa menusuk sendi-sendi tulangnya yang sering linu. Wak Karjo biasa ia dipanggil tetangganya, seorang supir truk, lebih tepatnya sewaktu ia masih muda. Akan tetapi, sekarang kulitnya telah mengeriput, hanya ada sisa-sisa ototnya yang dulu kekar. Ban truknya berkarat, hijaunya telah memudar, seolah sebagai pertanda betapa tua Si pemilik truk itu. Meskipun Wak Karjo sudah lebih sepuluh tahun tidak menyupir truk, ia memberanikan diri menghadiri pernikahan anak satu-satunya yang sangat ia cintai.
            Wak Karjo memanaskan aki truknya, ia terlihat gagah ketika menaiki truk miliknya. Perlahan truk menyusuri sepanjang jalan. Sesekali Wak Karjo menyeka keringat dengan handuk kecil yang ia taruh di pundaknya. Jakarta sangat jauh, penuh resiko, tapi demi melihat sebuah kebahagiaan yang akan ia dapatkan ketika melihat anaknya menikah, anak yang dulu sering duduk di pangkuannya. Wak Karjo rela melakukan perjalanan panjang dari Tuban ke Jakarta dengan  tubuh yang lemah. Tangan Wak Karjo gemetar, mungkin karena sudah lama ia tidak memegang setir, mengendalikannya ke kiri dan ke kanan. Sampai di Surabaya, Wak Karjo berhenti di sebuah warung kelontong. Sungguh nikmat menikmati sepiring kelontong ditemani secangkir kopi hangat.
            Wak Karjo melanjutkan perjalanan, tapi kedua matanya seolah tertarik melihat kerumunan orang di seberang jalan. Banyak orang berteriak-teriak. Ternyata ada seorang anak kecil yang tergeletak penuh darah dipangku seorang wanita paruh baya yang juga terluka.  Mereka adalah korban tabrak lari. Tanpa sadar, Wak Karjo bergegas menggendong anak kecil itu dan mengantarkannya ke rumah sakit terdekat. Nyawa anak itu terselamatkan. Wak Karjo pamit kepada ibu anak itu untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sebuah doa terucap dari Sang ibu.
            Perjalanan Wak Karjo terhenti di Madiun untuk hari pertama. Malam terlihat semakin padam. Wak Karjo tidur di dalam truknya. Ia berharap esok akan lebih baik, ia sampai dijakarta sebelum acara pernikahan berlangsung. Ia ingin memeluk anaknya, memberinya doa akan kebaikan berumahtangga. Malam semakin larut, bintang-bintang seolah mendengar apa yang dikatakan isi hati Wak Karjo. Di sebuah truk, tertidur seorang lelaki tua, malam tidak lagi sedingin biasa, udaranya menghangatkan dan sinar rembulan temaran melelapkan.
                                                                        ♣♣♣
            Perlahan terlewat sudah. Perjalanan Wak Karjo sampai di kota Yogya. Lelah menghinggapi tubuh tuanya. Uangnya menipis, bekal makanannya juga telah habis. Dengan sisa uangnya, Wak Karjo berniat membeli nasi kucing dan tentunya kopi kesukaannya. Baru saja Wak Karjo turun dari truk, ia melihat seorang anak kecil berbaju kusut, wajahnya seolah menyimpan isyarat kesedihan. Anak itu mengulurkan tangan kecilnya kepada orang-orang yang sedang makan disepanjang jalan. Hati Wak Karjo tersentuh, ia teringat Dayu kecil, anaknya yang sebentar lagi akan menikah, menjadi seorang suami. Akhirnya, Wak Karjo meyerahkan semua sisa uang yang ada disaku celananya. Sebelum pergi, Wak Karjo sempat mengelus rambut anak kecil itu, berharap kelak ia menjadi anak kebanggaan semua orang.
            Perjalanan hari ini lebih berat karena Wak Karjo harus mengendarai truk ditengah perutnya yang keroncongan. Dengan sisa tenaga, Wak Karjo terus bertahan mengendalikan truknya. Ia memelankan lajunya. Usaha Wak Karjo berhari-hari menempuh perjalanan dengan bermodal keberanian, tidak sia-sia. Dia telah sampai di Jakarta, setelah melewati Purwokerto, Cirebon, Cikampek, Karawang, dan Bekasi. Wak Karjo tidak sanggup membendung perasaan bahagianya. Ia menitihkan air mata. Dengan semangat Wak Karjo memutar, membelokkan truknya menyusuri jalanan kota Jakarta. Nafas Wak Karjo terengah-engah, keringat mengucur dari balik kopyah tuanya. Kaki dan tangannya gemetar hingga Wak Karjo tidak sanggup menginjak rem ketika ada sebuah motor yang melaju kencang dari arah yang berlawanan. Truk Wak Karjo terguling, kepalanya terbentur keras, badan Wak Karjo ringsuk di dalam truk yang selama ini menemani hidupnya. Darah mengalir dari kedua lengannya. Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa tersebut langsung berusaha menyelamatkan Wak Karjo. Sia-sia. Wak Karjo telah kehilangan tenaganya untuk bernafas. Di dalam saku Wak Karjo ditemukan sebuah kertas bertuliskan “Jln. Agus Salim no. 78 Jakarta Timur” dan sebuah cincin emas berhiaskan mutiara bintang.
           


                                                                                                Husnia S.

                                                                                                Edc. Manisan

Your Reply

Sebuah Truk Pengantar Bintang

Sebuah Truk Pengantar Bintang

            “Pak, minggu depan kulo ajeng nikah”
            “Koburu-burutole?”
            “Kalau bapak tidak bisa hadir, tidak apa-apa. Pernikahan akan tetap berlangsung”
            Lelaki tua itu terlihat risau setelah menerima telepon dari anak semata wayangnya di Jakarta. Pernikahan adalah hal yang sangat sakral. Perkataan anaknya, Dayu bahwa ia akan tetap menikah dengan atau tanpa kehadiran sosok lelaki tua itu, betapa menusuk sendi-sendi tulangnya yang sering linu. Wak Karjo biasa ia dipanggil tetangganya, seorang supir truk, lebih tepatnya sewaktu ia masih muda. Akan tetapi, sekarang kulitnya telah mengeriput, hanya ada sisa-sisa ototnya yang dulu kekar. Ban truknya berkarat, hijaunya telah memudar, seolah sebagai pertanda betapa tua Si pemilik truk itu. Meskipun Wak Karjo sudah lebih sepuluh tahun tidak menyupir truk, ia memberanikan diri menghadiri pernikahan anak satu-satunya yang sangat ia cintai.
            Wak Karjo memanaskan aki truknya, ia terlihat gagah ketika menaiki truk miliknya. Perlahan truk menyusuri sepanjang jalan. Sesekali Wak Karjo menyeka keringat dengan handuk kecil yang ia taruh di pundaknya. Jakarta sangat jauh, penuh resiko, tapi demi melihat sebuah kebahagiaan yang akan ia dapatkan ketika melihat anaknya menikah, anak yang dulu sering duduk di pangkuannya. Wak Karjo rela melakukan perjalanan panjang dari Tuban ke Jakarta dengan  tubuh yang lemah. Tangan Wak Karjo gemetar, mungkin karena sudah lama ia tidak memegang setir, mengendalikannya ke kiri dan ke kanan. Sampai di Surabaya, Wak Karjo berhenti di sebuah warung kelontong. Sungguh nikmat menikmati sepiring kelontong ditemani secangkir kopi hangat.
            Wak Karjo melanjutkan perjalanan, tapi kedua matanya seolah tertarik melihat kerumunan orang di seberang jalan. Banyak orang berteriak-teriak. Ternyata ada seorang anak kecil yang tergeletak penuh darah dipangku seorang wanita paruh baya yang juga terluka.  Mereka adalah korban tabrak lari. Tanpa sadar, Wak Karjo bergegas menggendong anak kecil itu dan mengantarkannya ke rumah sakit terdekat. Nyawa anak itu terselamatkan. Wak Karjo pamit kepada ibu anak itu untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sebuah doa terucap dari Sang ibu.
            Perjalanan Wak Karjo terhenti di Madiun untuk hari pertama. Malam terlihat semakin padam. Wak Karjo tidur di dalam truknya. Ia berharap esok akan lebih baik, ia sampai dijakarta sebelum acara pernikahan berlangsung. Ia ingin memeluk anaknya, memberinya doa akan kebaikan berumahtangga. Malam semakin larut, bintang-bintang seolah mendengar apa yang dikatakan isi hati Wak Karjo. Di sebuah truk, tertidur seorang lelaki tua, malam tidak lagi sedingin biasa, udaranya menghangatkan dan sinar rembulan temaran melelapkan.
                                                                        ♣♣♣
            Perlahan terlewat sudah. Perjalanan Wak Karjo sampai di kota Yogya. Lelah menghinggapi tubuh tuanya. Uangnya menipis, bekal makanannya juga telah habis. Dengan sisa uangnya, Wak Karjo berniat membeli nasi kucing dan tentunya kopi kesukaannya. Baru saja Wak Karjo turun dari truk, ia melihat seorang anak kecil berbaju kusut, wajahnya seolah menyimpan isyarat kesedihan. Anak itu mengulurkan tangan kecilnya kepada orang-orang yang sedang makan disepanjang jalan. Hati Wak Karjo tersentuh, ia teringat Dayu kecil, anaknya yang sebentar lagi akan menikah, menjadi seorang suami. Akhirnya, Wak Karjo meyerahkan semua sisa uang yang ada disaku celananya. Sebelum pergi, Wak Karjo sempat mengelus rambut anak kecil itu, berharap kelak ia menjadi anak kebanggaan semua orang.
            Perjalanan hari ini lebih berat karena Wak Karjo harus mengendarai truk ditengah perutnya yang keroncongan. Dengan sisa tenaga, Wak Karjo terus bertahan mengendalikan truknya. Ia memelankan lajunya. Usaha Wak Karjo berhari-hari menempuh perjalanan dengan bermodal keberanian, tidak sia-sia. Dia telah sampai di Jakarta, setelah melewati Purwokerto, Cirebon, Cikampek, Karawang, dan Bekasi. Wak Karjo tidak sanggup membendung perasaan bahagianya. Ia menitihkan air mata. Dengan semangat Wak Karjo memutar, membelokkan truknya menyusuri jalanan kota Jakarta. Nafas Wak Karjo terengah-engah, keringat mengucur dari balik kopyah tuanya. Kaki dan tangannya gemetar hingga Wak Karjo tidak sanggup menginjak rem ketika ada sebuah motor yang melaju kencang dari arah yang berlawanan. Truk Wak Karjo terguling, kepalanya terbentur keras, badan Wak Karjo ringsuk di dalam truk yang selama ini menemani hidupnya. Darah mengalir dari kedua lengannya. Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa tersebut langsung berusaha menyelamatkan Wak Karjo. Sia-sia. Wak Karjo telah kehilangan tenaganya untuk bernafas. Di dalam saku Wak Karjo ditemukan sebuah kertas bertuliskan “Jln. Agus Salim no. 78 Jakarta Timur” dan sebuah cincin emas berhiaskan mutiara bintang.
           


                                                                                                Husnia S.

                                                                                                Edc. Manisan

0 komentar:

Posting Komentar