Persiapan proklamasi. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana
Maeda diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks
Proklamasi.
Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura,
Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi
dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni,
B.M. Diah,
Sudiro, dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang
mendengarkan penyusunan teks tersebut. Setelah konsep
selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan
mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut)
Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan
Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman
Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
Detik-detik proklamasi, Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 -
04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi
Maeda jln.
Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir.
Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan
Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu
adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks
Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus
1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir
antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Akhirnya, pada hari
jum’at, tanggal 17 Agustus 1945 tahun Masehi, pukul 10:00 WIB Bung Karno yang didampingi Bung Hatta bertempat di
Pegangsaan Timur 56 Jakarta pusat, atas nama bangsa Indonesia membacakan
proklamsi kemerdekaan. Soekarno membaca naskah Proklamasi yang sudah diketik
Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta.
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan kemerdekaan
Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan
d.l.l., di-
selenggarakan dengan tjara
saksama dan dalam tempo jang se-
singkat-singkatnja
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 45
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 45
Atas
nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Kemudian berkibarlah
bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, istri Ir. Soekarno.
Ketika
menjahit bendera pusaka Indonesia tersebut, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya
yang pertama. Di karenakan kondisi fisiknya dan juga karena ukuran bendera yang
besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari. Berulang kali Ibu
Fatmawati menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang dijahitnya itu. Titik-titik
air mata beliau yang tumpah pada bendera pusaka Indonesia, lalu terajut kedalam
benang-benang katun halus itu. Inilah bnetuk sumbangan perempuan Indonesia kepada
negaranya tercinta pada masanya. Setiap hari, sejak Proklamasi Kemerdekaan,
Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati tersebut selalu dikibarkan tidak
hanya di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan Timur 56,
tetapi juga di seluruh jiwa rakyat Indonesia sebagai bukti kemerdekaannya.
Riuh tepuk tangan penonton menggema
di seluruh aula SMA Padamu Negeri. Pertunjukan yang dimainkan siswa-siswi SMA
Padamu Negeri dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI itu berlangsung meriah,
terbukti dengan banyaknya decak kagum diantara murid sendiri, guru, dan walid
murid yang hadir. Sungguh pertunjukan dari anak bangsa yang begitu
membanggakan.
“Selamat ya..acting kamu tadi membuatku bangga
padamu Lan,”
“Terima kasih. Tapi acting kamu juga hebat, apalagi
waktu kamu memerankan Ir.Soekarno yang sedang membaca teks proklamasi, itu
membuatku merinding..hihi”
“Ah! nggak
usah berlebihan gitu memujinya Lan…”
“Kamu pantas memerankan Ibu Fatmawati, meskipun Ibu
Fatmawati yang sebenarnya matanya nggak
sipit gitu..hahaha”
“aUCH!!” teriak Bintang sambil melihat pinggangnya
yang telah memerah
Belum sempat Bintang mengejar Lan-lan yang berlari,
beberapa cewek telah lebih dulu mengerubuti Bintang untuk memberi selamat atau
sekadar mencari kesempatan menyentuh tangan Bintang, cowok paling populer di
SMA Padamu Negeri. Tidak lama kemudian
Gank Miss Pesona dengan jalannya yang
berlebihan itu mendekati Bintang, secara spontan cewek-cewek yang mendekati
Bintang mundur teratur.
“Oh Bintang.., kamu cocok jadi artis”
“Iya, iya, penampilanmu di panggung tadi sungguh
mempesona”
“Iya, akan lebih bagus lagi kalo tidak ada si sipit
Lan-lan yang berperan jadi istrimu. Seharusnya aku yang lebih pantas kan…iya
kan…”
Melihat wajah Bintang yang mengerut, sudah dapat
ditebak bahwa dia sangat ingin pergi dari hadapan Miss Pesona dan anak buahnya yang
sukanya menjelek-jelekkan orang lain. Gaya bicaranya yang manja dan bahasa
tubuhnya yang meliuk-liuk membuat Bintang muak melihatnya. Bintang lebih suka
menyebutnya cewek endel bin uendel. Nggak pernah terbayang dipikiran
Bintang untuk menjadikan Miss Pesona menjadi pacarnya, meskipun berkali-kali dia
mengunggapkan perasaannya bahkan memohon-mohon agar Bintang mau menjadi
pacarnya. Banyak teman Bintang yang bilang bahwa hanya cowok bego yang nolak
Miss Pesona, tapi bagi Bintang hanya cowok begolah yang mau menjadi pacar Miss
Pesona.
“Mengapa sich hanya Bintang saja yang diberi
selamat? Actingku kan juga tidak kalah menawannya…”
“Huh u hu..kamu itu hanya sebagai pemain pembantu
tau!”
“Eit jangan salah, tanpa Sayuti Melik, Ir. Soekarno
tidak akan bisa membaca teks proklamasi. Jadi, aku ini sangat berjasa bagi
Bangsa Indonesia.”
Miss Pesona segera meninggalkan Bintang karena
kedatangan Deo. Deo nampak kecewa karena actingnya dianggap remeh oleh Miss
Pesona. Sebenarnya Bintng kasihan melihat ekspresi Deo yang melas, tapi jujur
Bintang senang karena secara tidak langsung kedatangan Deo telah mengusir Miss
Pesona yang menyebalkan itu. Sudah sejak lama Deo yang terkenal gaya bicaranya
yang lebay itu menaruh hati dengan Miss Pesona. Akan tetapi, tidak sedikitpun
Miss Pesona melirik Deo.
***
“Mengapa jam segini kamu baru pulang Lan?”
“Habis ikut ekstra nek”
“ekstra apa?”
“Piano nek”
“Bukannya kamu sudah mahir bermain piano?”
“Iya nek, tapi di sekolah levelnya lebih tinggi”
Bukan pertama kali Lan-lan berbohong kepada
neneknya, ini ia lakukan agar neneknya tidak mengirimnya kembali ke Cina ke
rumah orangtuanya di sana. Lan-lan sudah terlanjur cinta tinggal di Indonesia,
apalagi semenjak mengenal Bintang. Berkali-kali neneknya mengingatkan agar ia
jangan terlalu dekat bergaul dengan orang pribumi, itu sebutan nenek Lan untuk
orang Indonesia asli. Entah dendam apa yang membuat nenek Lan sangat membenci
orang Indonesia, padahal dalam sejarah, Indonesia tidak pernah berperang
melawan Cina.
***
“Kamu tidak kapok kan bermain drama?”
“Aku sangat mencintai dunia pertunjukan, drama,
teater. Aku tidak mau meninggalkan ini semua Bin.”
“Aku juga. Rasanya aku ingin selalu melakonkan
karakter yang berbeda-beda ditiap pertunjukkan. Aku ingin menjadi pemain drama
professional, bisa bermain sampai ke luar negeri membanggakan negeriku
tercinta.”
“Auch!! Mengapa kamu selalu mencubitku…?!”
“Aku cuma ingin menguji acting kamu ko, acting
kesakitan, hhaaha” Sinar matahari siang itu seakan terasa sejuk menerpa tubuh
Bintang dan Lan. Hampir setiap jam istirahat mereka bertemu di belakang
sekolah, bercerita ataupun sekadar bermain canda di samping gundukan batu besar
yang mereka beri nama “Batu Persaudaraan”
mereka mengecat batu itu dengan cat berwarna merah putih dan melukis bintang
berwarna kuning di bagian atasnya, mereka mengartikan batu itu sebagai lambang
persaudaraan antara dua bangsa.
***
“Eh bro, semakin
hari gwe liat loe semakin akur aja sama Si sipit itu, jangan bilang loe suka
ama dia ya…”
“Emang kenapa
kalo aku suka ama dia, nggak ada hukumnya kan?”
“Tapi kan dia
cina bro..cina”
“Yang aku tahu,
meskipun dia orang cina, tapi rasa nasionalismenya lebih tinggi daripada kita
yang orang Indonesia asli”
Bintang memang
paling tidak suka melihat ada temannya yang membeda-bedakan suku. Beda
kastalah, beda darahlah, beda prestise. Sebagai manusia, kita adalah makhluk
yang berbudaya. Kita tinggal dinegara yang mempunyai beragam suku, adat
istiadat, dan itu bukanlah pembeda, justru sebagai penguat tali persaudaraan
lewat keberagaman dari perbedaan tersebut. Tidak sewajarnya kita memberi garis
pemisah diantara berbagai budaya, termasuk budaya luar.
Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia
belum berakhir, SMA Padamu Negeri 2 Jakarta telah menyiapkan serangkaian
lomba untuk memperingati hari kemerdekaan yang tiap tahun ditunggu-tunggu
seluruh penduduk Indonesia. Bintang sebagai ketua panitia mulai menggalang dana
dari iuaran siswa beberapa bulan sebelumnya. Lomba yang disiapkan mulai dari lomba
panjat pinang, balap bakiak, makan kerupuk, balap karung, perang bantal, dan
pecah balon. Dan untuk guru-guru, tidak lupa panitia menyiapkan lomba tarik
tambang.
“Kamu jadi ikut
lomba makan krupuk kan Lan?”
“Hm..aku ragu Bin, apa
teman-teman tidak akan menertawankanku, ‘Hei ada Si sipit makan krupuk…”
“Aku pasti akan
bangga kalau kamu mau ikut lomba besok pagi. Yang aku tahu, tidak ada peraturan
hanya orang Indonesia saja yang boleh ikut lomba 17 agustus. Indonesia telah
merdeka dan kebahagiannya boleh di rasakan siapa saja, tidak hanya rakyat
Indonesia.”
***
Bintang tidak
menyangka bahwa obloannya dengan Lan-lan di gundukan taman belakang sekolah
waktu itu adalah akhir dari pertemuan mereka. Lan-lan tidak lagi ada di bangku
kelasnya, setiap hari Bintang memandangi kursi yang biasa di duduki Lan-lan. Ya
bangku paling belakang. Semua teman sekelas terlihat senang dengan
ketidakhadiran Lan-lan, kecuali Bintang. Terlihat jelas bahwa ia sedang
memikirkan gadis sipit yang sering lewat dalam mimpinya itu. Seminggu kemudian,
baru Bintang tahu kalau Lan-lan telah diboyong neneknya ke Cina karena neneknya
mengetahui bahwa Lan-lan sering membohongi neneknya. Lan-lan memang sering
bercerita mengenai neneknya yang begitu benci dengan orang Indonesia. Karena
itulah setiap kali Bintang ingin ke rumah Lan-lan, dia selalu melarang dan
lebih suka bertemu di sekolah. Sebenarnya Bintang menyayangkan kepergian
Lan-lan yang mendadak, tanpa pamit. Tapi Bintang mencoba mengerti kondisi
Lan-lan saat itu. Wajar Lan langsung menyetujui di boyong neneknya ke Cina,
karena yang Bintang tahu bahwa Lan adalah gadis yang baik, tidak mungkin
mengecewakan neneknya yang selama ini telah merawatnya karena kesibukan
orangtuanya.
“Guwe turut berduka
cita bro atas kepergian Si sipit”
“Emangnya Lan-lan
meninggal apa, huu dasar!” Bintang memukul kepala Deo yang sore itu tiba-tiba
udah nangkrik di ruang tamu rumah Bintang. Deo memang sahabat karib Bintang.
Deo satu-satunya teman yang sering bermain di rumah Bintang, bahkan terkadang
menginap beberapa hari. Jika di tanya kenapa senang sekali di rumah Bintang,
apa nggak di cari orangtua??. Dia selalu menjawab ”gue kan sayang ama elu Bin,
elu sahabat terbaik gue” Deo selalu mengucapkannnya dengan memasang wajah super
cute. Itu sich hanya tipu muslihat
saja. Bintang juga tahu kalau sahabatnya itu sering main ke rumahnya karena
banyaknya makanan yang tersedia di rumah Bintang. “Mama lue jago masak ya bro,
beda ama nyokab guwe” itu juga yang sering diucapkan Deo sembari menyantap
habis makanan di kulkas, padahal udah jelas makanan yang ia makan itu di beli
dari Supermarket. Dasar Deo tukang makan! .
“Kali ini guwe ke
rumah lue membawa wasiat bro” Bintang tidak menghiraukan ocehan temannya itu.
Pasti cuma akal-akalan Deo saja, seperti biasa, batin Bintang. Tapi Bintang
kaget ketika Deo mengulurkan sebuah amplop putih dengan hiasan pita merah
putih. “Nih buwat loe” Bintang membuka surat itu, begitu terkejutnya dia ketika
ia membaca inisial pengirimnya. Ya, gadis sipit yang mengusik tidurnya di
hampir setiap malam, Lan-lan. “Maaf bro, guwe baru ngasih surat ini sebulan
setelah kepergian Lan, karena ini permintaannya” Ada degup jantung yang terpacu
begitu cepat, Bintang tidak menyadari bahwa degupan itu berasal dari
jantungnya. Bintang mencoba menarik nafas, berusaha menenangkan perasaannya
yang galau.
Minggu melewati
bulan dan bulan bergulir menjadi tahun. Kini, Bintang telah menjadi seorang
mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Jakarta. Setelah Bintang melewati
hari-hari semenjak kepergian Lan empat tahun silam, dia tumbuh menjadi lelaki
dewasa yang berprinsip. Di semester awal kuliah, Bintang aktif dalam organisasi
kemahasiswaan dan giat mengikuti kegiatan di luar kampus, terutama yang
menyangkut seni pertunjukkan.
“Bro, ada
tawaran manggung buat loe, aku yakin loe pasti nggak akan nolak” Malam itu
entah ada angin apa Bintang belum juga memejamkan mata, padahal biasanya lewat
jam 23.00 dia sudah terlelap di kasur empuknya. Deo tiba-tiba menelephonnya.
Sudah beberapa bulan kawannya yang aneh itu tidak menghubunginya, karena
sekarang mereka tinggal di kota yang berbeda. Deo menetap di Yogya dan
melanjutkan kuliah di sana. “Memang manggung di mana sich kok loe heboh amat.
Penyakitmu dari dulu nggak sembuh-sembuh” Deo seolah tersetrum kabel
berkekuatan 500 watt ketika mendengar kata “Guang Zhuo” Yups Cina! Tanpa pikir
panjang Bintang langsung menyetujui tawaran Deo untuk ikut dalam pertunjukkan
teater yang akan dipentaskan di Cina itu. Seolah ada bisikan yang mengatakan
bahwa Bintang harus ikut.
Beberapa hari
menjalani latihan teater di basecamp,
Bintang semakin resah menyambut hari keberangkatannya ke Cina, antara takut dan
senang. Bintang yang tergabung dalam regu “Sandyakala” berlatih teater mati-matian,
ini akan menjadi pertunjukan terhebat, membawa nama bangsa ke negeri orang.
Seolah pertunjukkan ini sebuah perang yang mempertaruhkan nama bangsa. Hari
yang ditunggu regu “Sandyakala” akhirnya tiba. Perjalanan ke Cina sekitar
….Setelah melepas lelah, malam harinya semua tim panitia dari cina
mempersiapkan segala keperluan teater. Seluruh anggota “Sandyakala” berdoa
memohon kelancaran pertunjukan. “Sekarang kita sambut perwakilan dari Indonesia
‘Sandyakala’ yang akan membawakan teater berjudul ‘Skenario Merah Putih’ “.
Satu persatu pemain melakonkan setiap adegan, dialog, dan babak dalam teater
yang mereka mainkan. Sesaat kemudian bendera kebangsaan Merah Putih dikibarkan.
Bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kalinya di tengah bumi Cina. Warna
Merah menyala merupakan lambang keberanian, sedangkan warna putih merupakan
lambang kesucian. Secarik kain yang berwarna merah putih tersebut telah menjadi bendera pusaka bangsa Indonesia. Dan
itulah akhir cerita yang diiringi ribuan tepuk tangan dari seluruh penjuru
negara yang memenuhi gedung pertunjukan di Cina.
“Ada wartawan dari Cina yang ingin
mewawancarai anda, katanya dia sangat tertarik dengan pertunjukan dari
Indonesia, sekarang wartawan itu menunggu anda di lobi”
“Maaf, bolehkan saya mewawancarai
anda seben….” Wartawan itu tidak melanjutkan ucapannya. Dan Bintang yang baru
saja ingin duduk, juga menghentikan gerakannya. Tatapan itu, tatapan yang telah
lama hilang, seakan telah kembali tertangkap pupil matanya. Bintang ragu apakah
benar ia mengenalnya karena banyak sepasang mata sipit di Cina. “Bintang” Ya
sekarang Bintang yakin bahwa ia mengenal gadis dihadapannya itu. Ia telah
menjelma bagai angsa yang cantik dengan bulu yang indah membalut seluruh
tubuhnya. “Lan-lan” Ternyata selama ini Tuhan tidak memisahkan mereka, Tuhan
hanya mengatur jarak diantara mereka. Bintang dan Lan duduk di lobi, sejenak
mereka membisu, mungkin mereka bingung harus memulai obrolan dari mana setelah
empat tahun terpisah. ”Batu Persaudaraan..” Bintang dan Lan bersamaan
mengucapkan kalimat yang sama, mereka saling melempar senyum.
“Bagaimana kabar nenek kamu…apakah
masih hidup??”
aUchh!! Masih seperti empat tahun
yang lalu, Si sipit Lan-lan selalu mencubit pinggang Bintang setiap kali
Bintang bertingkah. Dan Bintang dengan ekspresi wajahnya yang aneh melihat
pinggangnya memerah.
“Besok aku tunggu di belakang gedung pertunjukan
ya..” Lan-lan masih juga belum berubah, batin Bintang. Gadis itu selalu lari
setelah mencubit pinggangnya. Padahal tadi katanya ingin wawancara. Hm dasar
gadis aneh.
Bintang tidak sabar menunggu hari esok. Pagi-pagi
sekali ia bangun dan berdandan sangat rapi, tidak lupa melewatkan parfum
favoritnya. Ini akan menjadi hari paling membahagiakan bagi Bintang. Bintang
berharap ia lah yang datang terlebih dahulu sebelum Lan. Tapi ia salah, Lan
telah menunggunya 15 menit.
“Kamu ingin mengajakku kemana?”
“Ayo ikut saja” Lan mengandeng tangan Bintang
berlari melewati jalan-jalan sempit, tikungan, melintas jalan raya, hampir saja
Bintang terserempet mobil dari arah yang berlawanan. Tapi Lan masih saja tidak
menghentikan jalannya, bahkan lebih kencang lagi Lan berlari sambil terus
mengandeng tangan Bintang. Akhirnya Lan menghentikan langkahnya di sebuah
taman.
“Lihatlah apa yang aku temukan di sini” Lan
menunjukkan kepada Bintang sebuah batu besar, mirip gundukan tanah.
“Ini kan hanya sebuah batu, tidak ada istimewanya??”
“Tidak lagi setelah kita berubahnya” Lan
mengeluarkan cat dari balik pohon yang ada di sebelah batu itu.
“Ayo kita mengecatnya, menjadi ‘Batu Persaudaraan’ “Bintang
nampak bingung dengan tingkahnya, ia mengoyak rambut Lan sebagai isyarat
bahagianya.
“Kamu tidak ingin tahu kenapa nenekku begitu benci
dengan orang Indonesia??”
“Sebenarnya sejak dulu aku ingin menanyakan hal itu,
tapi aku takut kamu mencubit pinggangku lagi, hehe” Sambil terus mengecat, Lan
menceritakan alasan mengapa neneknya dendam setengah mati dengan orang
Indonesia. Neneknya pernah dikecewakan lelaki dari Indonesia. Ketika neneknya
masih muda, ia mencintai pemuda Indonesia, mereka kemudian menikah, belum
sampai mereka mempunyai anak, suaminya meninggalkannya dengan alasan tidak kuat
kalau harus membangun rumahtangga di tengah ketidaksetujuan mertuanya, yaitu
buyutku. Makanya, nenekku sangat membenci orang Indonesia. Katanya pemuda
Indonesia tidak pandai melewati rintangan hidup.
“Tapi kan nggak
semua pemuda Indonesia seperti itu, contohnya aku” Belum sempat Lan mencubit
pinggang Bintang, Bintang telah hilang dari samping Lan, Bintang lari duluan.
“Weks…ayo cubit aku kalau bisa…..” Siang itu menjadi
saksi perjumpaan anak manusia dari dua bangsa yang telah lama terpisah. “Batu
Persaudaraan” yang mereka ukir di bumi Cina akankah berubah menjadi “Batu
Percintaan”. Entahlah, yang jelas hanya mereka yang tahu.