(Sebelum membaca cerpen ini, atur posisi duduk anda!)
Semilir lembayung fajar menerpa
wajah keriput wanita yang setiap hari dihinggapi rasa pedih itu. Entah seberapa
jauh pikirannnya menjelah masalah yang setahun lalu menimpanya. Hanya tatapan
sayup yang terpancar semenjak kejadian itu.
“Mbok iki ingin meracuni saya?!! Masakan kok hambar”. Tidak ada sahutan
dari wanita yang sudah tidak muda lagi itu, tapi jelas terlihat ada kepedihan
di wajahnya.
“Nanti jangan lupa burung perkutut
saya diberi makan, bilang pada Wak Bejo!”
“Injeh
Tuan,” satu kata singkat itu yang mewakili kepasrahan Mbok Jah selama setahun ini.
Apapun yang disuruh dan diminta Tuan, Mbok Jah tidak pernah sekalipun berkata
tidak, meski itu menyakiti Mbok Jah. Sering Wak Bejo, Kakak tertua Mbok Jah yang hidup bersama Mbok Jah setelah bercerai
dengan istrinya, memarahi Mbok Jah agar jangan selalu menurut apa saja yang
disuruh Tuan.
“Mbok iku jangan mau dibentak-bentak”
“Iya Si Mbok ngerti”
“Kita iki wes terlalu jauh Mbok”
“Iya Si Mbok ngerti”
“Si Mbok iki terlalu memanjakannya”
“Iku
lo Wak perkututnya cepat dikasih makan, nanti Tuan marah.” Percakapan Mbok Jah
dan Wak Bejo hampir selalu tak berujung. Mbok Jah memang terlalu sabar menuruti
semua keinginan Tuan, lebih tepatnya Mbok Jah terlalu menyayangi Tuan. Ada
ketakutan setiap kali Mbok Jah ingin menolak keinginan Tuan. Sedangkan Wak Bejo
dengan sikapnya yang tegas, akan marah ketika Tuan menyuruhnya dengan kasar. Pernah
suatu ketika, Tuan memarahi Wak Bejo karena dianggap tidak becus merawat burung
perkutut kesayangannya. Padahal sehari sebelumnya, Tuan memberi makan burung
perkututnya dengan makanan baru yang katanya lebih mahal agar perkututnya
berkicau merdu. Setelah itu, perkutut kesayangan Tuan sakit, badannya ringkuk
tidak bergerak. Tuan dengan segala alasan dan makian menyalahkan Wak Bejo. Wak
Bejo pun marah karena sebelumnya ia sudah mengingatkan bahwa Kliwon hanya suka
makan beras ketan ireng, Tuan tidak
menghiraukan, malah menganggap Wak Bejo sok tau.
“Kliwon itu sudah aku pelihara
bertahun-tahun, tahu apa Wak Bejo tentang Kliwon??! Wak Bejo di sini baru
setahun. Jangan sok menasehati apa yang harus saya lakukan dan tidak.” Kurang
lebih begitulah pertengkaran Tuan dan Wak Bejo karena burung perkutut, Si
Kiwon.
“Wak,
aku iki khawatir karo Tuan”
“Khawatir
kenapa lagi Mbok?”
“Umur
Tuan iku wes ora muda, tapi kok durung nikah Wak?”
“Mbok
tidak usah ikut campur, apa Mbok ingat waktu Wak tanya mengapa rumah ini sepi,
tidak ada anak maupun istri”
“Iya,
Mbok ingat betul Wak,” sambil Mbok mengingat-ngingat kejadian waktu Tuan
tiba-tiba marah karena pertanyaan Wak. Mbok ingat benar betapa garang tatapan
Tuan saat itu, seperti hendak menerkam tubuh Wak yang sudah ringsut. Setelah
itu, baik Mbok Jah maupun Wak Bejo tidak pernah lagi menyinggung masalah istri.
Meskipun sudah lama Mbok Jah dan Wak Bejo mengenal Tuan, terkadang mereka
seperti baru mengenal sosok Tuan. Bekerja mati-matian sejak pagi hingga larut
malam, seperti Tuan ingin membahagiakan seseorang dengan kemapanan yang ia raih
sekarang.
“Mbok,
bersihkan buku-buku di perpustakaan saya, jangan sampai ada buku yang rusak.” Jelas
terlihat kelelahan telah menghinggapi badan Mbok yang sudah tua, tetapi tidak
ada perasaan lelah bagi Mbok ketika melakukan apa yang disuruh Tuan. Mbok
melakukan semua itu dengan ikhlas. Satu per satu Mbok membersihkan buku-buku
dalam rak dan menatanya dengan rapi. Tangan Mbok Jah tiba-tiba terarah pada
buku tua yang bagian bawahnya sudah tidak utuh lagi dimakan rayap. Buku itu setua
umur Mbok Jah. Warnanya telah memudar, seperti wajah Mbok Jah yang sudah tidak
cantik lagi. Mbok membuka buku itu, penasaran mengapa Tuan menyimpan buku yang
usianya jauh diatasnya. Dalam buku itu terselip sebuah surat berwarna abu-abu.
Surat untuk Fatimah.
Untuk
Fatimah,
Aku
tidak sepandai arsitektur yang mampu mendesain gedung tua menjadi begitu
megahnya. Aku pun tidak semahir penyair yang bisa mengolah kata-kata dengan
indahnya. Aku hanya mampu menulis surat sederhana ini untuk mengatakan apa yang
aku rasakan terhadapmu Fatimah. Jangan tertawa dan jangan marah ketika aku
mulai menuliskan semua perasaanku.
Setiap
pagi aku melihatmu menjemur pakaian di belakang rumah, aku selalu membayangkan
akulah yang menjadi pakaian-pakaian itu, yang setiap pagi kamu jemur. Aku rela terbakar
panasnya matahari demi selalu bersamamu Fatimah. Setelah itu, kamu selalu pergi
ke pasar dengan menjinjing keranjang merah. Pulangnya keranjang itu telah penuh
berisi sayuran dan ikan. Ingin sekali rasanya aku menjadi keranjang itu yang
selalu menyentuh tanganmu Fatimah.
Lama aku pendam rasa ini. Rasa yang
entah apa kamu juga merasakannya? Sepenuhnya aku serahkan padamu untuk
menjawabnya Fatimah.
Mbok Jah menangis membaca surat itu,
tangannya gemetar seolah merasakan kegalauan dan ketakutan yang dirasakan Tuan
ketika menulis surat itu beberapa tahun yang lalu. Mbok menceritakan apa yang
ditemukannya siang itu kepada Wak Bejo. Sekarang mereka tahu alasan mengapa
sampai sekarang Tuan belum menikah. Karena Tuan mencintai Fatimah. Tuan
memendam perasaannya selama bertahun-tahun. Jelas ada ketakutan dihati Tuan
untuk mengungkapkan perasaanya kepada Fatimah, terbukti sampai sekarang surat
itu belum tersampaikan. Mbok Jah masih saja menangis. Ia membayangkan bagaimana
perasaan Tuan jika mengetahui sekarang Fatimah telah menjanda.
“Mengapa semua ini menimpa Tuan Wak?
Opo salahku Wak?”
“Mbok, iki kuwi wes ono seng ngatur” Mbok Jah menatap sendu Wak Bejo
ditengah heningnya rumah Tuan yang mewah. Rumah berlantai 2 yang dipenuhi
barang-barang mahal itu, terasa bagai gubuk reot yang diterpa gerimis dingin
bagi Mbok Jah dan Wak Bejo malam itu.
Sikap Tuan yang kasar dan ucapannya yang tidak sopan
sering membuat Wak Bejo berniat mengajak Mbok Jah pulang ke desa. Tetapi Mbok
Jah selalu mengatakan bahwa selama Tuan masih belum menikah, Tuan masih menjadi
tanggung jawabnya.
╬╬╬
“Uwak mau membelikan aku burung
perkutut ya…”
“Tapi kamu harus janji dulu, jangan
nakal”
“Iya. Kalau aku sudah besar nanti
akan membahagiakan Uwak dan Mbok.” Matahari belum terang terlihat oleh mata,
seorang anak dan Uwaknya sudah mengawali hari mereka dengan kasih sayang.
“Ayo makan dulu……nasi jagung dan
teri pepes sudah matang, kalian tidak akan bisa membeli perkutut dengan perut
keroncongan” Pagi itu terasa hangat ditengah kebahagian sebuah keluarga yang sederhana.
Kampung yang permai dengan rumah yang damai dikelilingi sawah dan pepohonan.
Sayup-sayup angin menyelinap jendela rumah, sesekali melihat kelucuan seorang
anak kecil yang memakai dasi, bercita ingin memakainya kalau sudah dewasa.
Gurauan Uwak dan Mbok menggodanya menambah kelucuan anak laki-laki itu. Anak
itu seolah tidak sabar menjadi dewasa.
Sekarang setiap pagi sudah terdengar
nyanyian merdu Sang perkutut. Mbok sering marah jika Uwak dan anak kecil itu
seharian memandangi perkutut sampai lupa segala.
“Uwak iku jangan mengajarkan anak menjadi malas.” Kemarahan Mbok meledak
ketika Uwak mengulur-ngulur waktu ke sawah demi perkutut. “Mau makan apa kita Wak
kalau Uwak tidak ke sawah. Kita semua akan kelaparan, begitu juga perkutut
kesayanganmu itu.” Membayangkan perkututnya akan mati kelaparan, Uwak baru
dengan sigap mengambil cangkul dan beranjak menuju sawah.
“Malam ini aku tidur lagi dengan
Uwak ya….” Longlongan anjing malam menjadi saksi betapa dekatnya hubungan Uwak
dan ponakannya. Tubuh kecil itu menyusup ke dalam sarung hitam kelabu Uwak yang
sudah tidak wangi lagi karena telah melewati malam-malam sebelumnya. Tetapi,
anak kecil itu seperti tidak menghiraukan bau sarung itu, yang ia rasakan
sarung Uwak membuatnya nyaman, hangat, dan melelapkan kantuknya. Kedekatan Uwak
dan anak kecil itu seolah mengalahkan hubungan darah seorang bapak dan anaknya.
Memang semenjak Sang anak hidup tanpa sosok bapak, Uwaklah yang mengajarkannya
berbagai pelajaran hidup. Anak kecil itu mewarisi darah Uwaknya. Ada satu
peristiwa yang menyadarkan Uwak bahwa darahnya telah mengalir pada anak kecil
itu. Ketika suatu pagi, Uwak hendak pergi ke sawah, ia kebingungan mencari
sepatu boot yang selalu dipakainya ketika pergi ke sawah, susah payah ia
mencari ke berbagai sudut rumah. Kemudian Uwak melihat anak kecil itu dengan
kaki yang kecil memakai sepatu boot Uwak sambil berkata kepada teman-temannya
“Ini sepatu boot Uwakku, Uwakku sangat gagah jika memakainya. Aku ingin seperti
Uwak.” Setiap pagi, Uwak tidak akan pergi ke sawah sebelum menghirup aroma kopi
tumbuk kesukaannya, gaya minum kopi Uwak dengan membalik gelas di atas dan
meminum kopi dari mangkirnya, membuat anak kecil itu sering diam-diam meminum
kopi Uwak yang masih panas di meja dan menirukan cara Uwak meminumnya.
Kehadiran anak kecil itu menyempurnakan
hari-hari Uwak dan Mbok. Mbok lebih sering marah dengan semua tingkah anak
kecil itu, sedangkan Uwak selalu tertawa lebar jika melihat anak kecil itu
bertingkah dengan keluguannya. Tidak jarang Mbok memukul anak kecil itu dengan
sapu. Pernah suatu hari, Mbok melihat baju-baju di jemuran berserakan di tanah.
Mbok langsung mencari anak kecil itu sambil membawa sapu dan bersiap
memukulnya. Anak kecil itu berlari mencari Uwaknya, berteriak-teriak dan
akhirnya bersembunyi di balik badan Uwak. Uwak hanya tersenyum. Anak kecil itu
sering mengadu kepada Uwak, bahwa ia terkadang benci dengan Mbok. “Aku tidak
sayang dengan Mbok karena Mbok juga tidak sayang dengan aku”. Uwak hanya tersenyum
mendengarnya.
Ketika benar-benar anak kecil itu
marah kepada Mbok, ia sering menyelinap masuk ke kamar Mbok, hanya satu
tujuannya, mengambil bunga melati yang ada di bawah bantal Mbok. Anak kecil itu
tahu bahwa Mbok sangat menyukai melati. Mbok selalu menaruh melati di bawah
bantalnya. Jika telah layu, Mbok mengganti dengan melati yang masih segar. Mbok
telah melakukannya selama delapan tahun. Itu Mbok lakukan sebagai bentuk
kerinduannya kepada Sang suami. Suami Mbok setiap malam menjelang tidur selalu
memberikan segenggam melati dan berkata “Mbok, jadilah wanita seharum melati”
Tapi semua alasan itu, terlalu jauh untuk dapat dipahami anak kecil itu. Ketika
anak kecil itu merasakan kedekatan dan kasih sayang Mbok, anak kecil itu menaruh
banyak melati segar di bawah bantal Mbok sampai berserakan di kasur, ia memetik
melati yang tumbuh subur di belakang rumah. Teringat kejadian, ketika anak
kecil itu hendak mengungkapkan rasa sayangnya kepada Mbok, karena Mbok
membelikannya sepatu boot, tapi anak kecil itu tidak menemui satupun melati
yang mekar. Akhirnya anak kecil itu menggantinya dengan bunga sedap malam. Mbok
langsung bertanya kepada anak kecil itu mengapa ia lakukan itu. Dengan polos ia
menjawab “Aku hanya ingin memberikan hadiah kepada Mbok, seperti Mbok
membelikaku sepatu boot. Bunga melati di belakang rumah habis, jadi aku mencari
bunga yang warnanya sama.” Mbok tersenyum, mata Mbok berair. Mbok sadar betapa
ia menyayangi anak itu.
Sekarang, anak kecil itu telah
tumbuh menjadi lelaki dewasa. Ia telah menjadi Sarjana Pertanian. Ia telah siap
mengarungi kehidupan, bekerja demi membahagiakan Uwak dan Mbok. Anak kecil yang
sekarang telah berganti menjadi seorang lelaki dewasa itu pamit pergi ke kota. Ia ingin mengadu nasibnya ke
kota besar, Jakarta.
“Uwak, Mbok, aku pamit pergi ke
kota. Bekerja di sana, menjadi pengusaha yang sukses, punya rumah yang mewah,
dan punya banyak pembantu untuk melayaniku. Hehe,,Doakan langkahku.” Anak
lelaki dewasa itu mencium tangan Uwak dan Mbok. Kemudian melambaikan tangan dan
berlalu.
╬╬╬
“Mbok, kita iki bukan pembantu.”
“Biarkan waktu yang
memberitahukannya Wak.”
“Aku wes ora kenal anakmu iku Mbok.”
“Dia tetap anakku Wak. Keponakanmu.”
“Sudah satu tahun kita hidup
perpura-pura menjadi pembantu. Tingkah lagat dia yang kasar, tutur bahasanya
yang tidak sopan karo wong tuo. Iku bukan ponakanku yang aku didik dulu.”
Mbok menyadari apa yang diucapkan Wak Bejo memang benar. Sudah setahun ia dan
Wak Bejo hidup perpura-pura menjadi pembantu demi anak kecilnya yang dulu ia
cintai. Tetapi, sampai sekarang pengorbanan itu masih sia-sia. Anaknya tidak
akan mengenalnya. Kecelakaan telah membuatnya lupa segalanya. Meskipun sekarang
anaknya telah menjadi pengusaha sukses, mempunyai rumah yang mewah, dan
tentunya Mbok dan Uwak sebagai pembantu, yang rela pergi ke kota meninggalkan
rumah setelah mendengar “kebanggaannya” mengalami kecelakaan. Apalah arti itu
semua, jika kini anaknya telah tiada dalam ke-ada-annya. Dengan keputusasaan,
Mbok melangkah menuju kamar. Ia ingin menumpahkan segala rasanya selama ini. Ia
ingat benar bagaimana dulu ia sering memukul anaknya dengan sapu ketika dia
berbuat kesalahan, karena Mbok ingin mendidiknya menjadi lelaki yang
bertanggungjawab dan bisa menjaga Mbok dan Uwak dalam masa tua. Mbok juga masih
ingat, betapa besar usahanya membiayai anaknya hingga menjadi seorang Sarjana.
Mbok berharap, agar anaknya bisa memjadi kebanggaan keluarga. Mbok menangis.
Mbok merindukan anaknya. Mbok mencium wangi melati semerbak, seperti saat-saat
ketika suaminya dulu memberinya segenggam melati setiap malam. Mbok merasakan
suaminya berada di sisinya dan mendengar semua yang Mbok rasakan. Mbok membalik
bantalnya, Mbok melihat ada melati segar di bawah bantal Mbok.
Salam
Penjaga Kampoeng,
Husniatin Sholihah