Baca Basmallah dulu....
“Teh, yang ada ditelevisi itu namanya
apa? aku ingin makan itu….”
“Itu namanya buah kurma, dek.”
“Buah kurma itu enak enggak, teh? Apa teteh pernah makan
buah kurma?
“Dulu waktu teteh masih TK, bibi
pernah memberi teteh kurma, rasanya manis.”
“Kapan teh aku bisa makan kurma?”
“Nanti kalau ada rezeki pasti kita
bisa makan kurma, dek. Sekarang ayo kerja lagi mumpung masih pagi.”
Kalaupun seandainya matahari sudah
enggan menampakkan sinarnya kedunia ini, matahari telah lelah menyinari, ada
dua anak manusia yang tidak akan pernah lelah untuk berusaha merajut
benang-benang hidupnya. Mereka tetap mengalir bagai air, mencari jalan bahagia.
Setiap waktu mereka menitipkan salam pada-Nya agar kebahagiaan yang mereka
tunggu segera datang.
“Teh, aku mau main.”
“Iya..tapi jangan jauh-jauh ya. Oya
jangan main dengan sofi lagi. Teteh tidak mau kita dimarahi orangtuanya seperti
kemarin. Mengerti !”
“Memang kenapa sich teh orangtua
Sofi memarahi kita. Salah kita apa?”
“Kamu harus tahu, dek. Dunia ini ibarat
daratan, tidak sama tingginya, ada lembah, ada bukit, sungai, ada gunung. Kita
ini berada didaratan rendah sedangkan Sofi ada digunung. Jaraknya jauh kan?”
“Iya, teh.”
“Tapi setinggi-tingginya gunung
masih ada satu puncak tertinggi. Kamu tahu apa itu?”
“Apa, teh?”
“Arasy tempat bersemayam cinta abadi.”
“Apa kita mampu mendakinya teh.”
“Kita pasti mampu mendaki puncak
keindahan-Nya asalkan kita rajin memuji nama-Nya.”
“Kalau begitu aku akan rajin sholat
dan ngaji teh, biar bisa mendaki puncak lebih tinggi dari gunungnya Sofi.
Hehe..”
Senyum merebak menawan dikedua bibir
kakak dan adik yang sedari tadi bekerja. Ilham berkeliling menawarkan kresek
kebeberapa pengunjung pasar dan Laila menawarkan tenaga mengangkat barang
belanjaan. Wajah mereka bercahaya oleh tetes-tetes keringat. Lapar dibulan
ramadhan tak menjadi halangan mereka mengais rejeki. Seharian penuh tubuh
mereka menyimpan lelah, tak ada satu keluhpun dari ujung lidah mereka. Separuh
jiwa mereka telah terpenuhi rindu akan cinta-Nya,
“Nanti kita berbuka pakai apa, teh?”
“Pakai nasi tempe saja ya, dek?”
“Apa uang kita belum cukup untuk
membeli kurma, teh?”
“Kurma itu harganya 10.000. Uang
kita masih kurang dek.”
“Tapi aku ingin berbuka dengan kurma
teh. Waktu aku ngaji kemarin, pak ustadz bilang bahwa kita lebih baik berbuka
dengan kurma atau yang manis-manis, teh.”
“Itu kan bagi yang punya uang dek.
Bagi orang-orang yang mampu.”
“Berarti kita ini termasuk
orang-orang yang tidak mampu ya, teh? Kenapa kita jadi orang yang tidak mampu,
teh?”
“Bukannya kita tidak mampu dek, tapi
Allah masih menyimpan kemampuan kita. Sang Kholiq hanya akan memberi apa yang
kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Itu juga sebabnya kenapa Allah
belum memberi kita kurma, karena itu sebuah keinginan semata dan bukanlah
kebutuhan.”
“Sudah adzan teh. Dengar!!”
Ya Allah, karena-Mu kami berpuasa,
atas-Mu kami beriman, dan karena rizqi-Mu kami berbuka. Dengan nama Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Disekeliling hamparan manusia yang sedang
bermewah-mewahan menyiapkan dan menyantap makanan beraneka ragam untuk berbuka,
Ilham dan Laila duduk disela-sela jalanan pasar yang telah sepi beralaskan
kardus bekas. Mereka nampak menikmati menu harian berbuka yakni nasi berlauk
tempe.
Dihamparan sajadah suci, mereka
mengucap doa-doa petunjuk Sang Pencipta. Selesai sholat magrib, mereka belum
pulang kerumah. Ilham dan Laila baru akan pulang setelah sholat tarawih. Allah
sedang merajut jalan terbaik dalam hidup mereka.
***
“Teh…sakit…”
“Badan kamu panas. Hari ini kamu
istirahat dirumah saja dek.”
“Tapi aku ingin ikut kerja, the. Aku
ingin segera makan kurma.”
Hari masih berkabut, Laila telah
bersiap untuk menawarkan keringat mengangkut belanjaan orang-orang dipasar.
Mata dan tubuhnya tak sesegar usianya. Ditengah anak seumurannya masih terlelap
dipangkuan ibunya, Laila telah terjaga dari tidur untuk mengejar rezekinya.
Hari ini, Laila bertekat untuk bekerja lebih keras demi Ilham, adik
kesayangannya. Laila begitu sedih melihat adiknya terbaring sakit dengan
perasaan yang menggebu ingin memakan buah kurma. Tuhan yang merajai langit dan
bumi tidak pernah tidur. Laila yakin Dia telah mendengar doanya.
“Copet !!!” Selintas Laila mendengar
teriakan. Laila menoleh keberbagai arah mencari-cari asal suara itu. Terlihat
seorang ibu tua kebingungan meminta tolong. Orang-orang pasar tidak satupun ada
yang bergerak menolong. Apa mereka tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? yang
jelas mereka seperti menonton sinetron adegan percopetan yang seru. Dengan nama
Allah yang bila disebut nama-Nya, segala sesuatu yang ada dibumi dan langit
tidak akan berbahaya. Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Laila
langsung mengejar pencopet itu, kencang ia berlari menelusuri gang gang sempit.
Pencopet itu tersungkur karena kakinya tersangkut tali. Laila segera mengambil
tas yang tergenggam ditangan kanan pencopet itu.
“Terima kasih nak,” ucap ibu tua
sambil menawarkan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih kepada Laila.
“Tidak usah, bu. Aku ikhlas menolong.”
“Apa benar kamu tidak membutuhkan
uang ini nak ?”
“Tidak bu. Aku ingin doa dari ibu
saja, semoga hari ini Sang Rahman melapangkan rezekiku.”
“Amien.”
Angin bertiup halus, seolah memberi
isyarat telah terjadi kebaikan di alam ini. Laila kembali berkeliling pasar,
sesekali ia duduk karena lelah telah tertimbun lama ditubuhnya yang kurus.
Laila mengamati kegiatan dipasar. Ia sekarang mengerti, kenapa pasar
disebut-sebut sebagai tempat berkumpulnya setan. Kejadian tadi pagi
mengingatkannya untuk selalu berlindung dibawah-Nya dari godaan setan dan bala
tentaranya.
“Laila….” Mendadak pundak laila
ditepuk seseorang dari belakang. Ternyata Daffa teman laila waktu masih SMP.
Daffa ialah teman sekaligus saingan berat laila sejak dulu. Mereka selalu
memperebutkan gelar bintang kelas. Tetapi semenjak kedua orangtua laila
meninggal, sudah tidak ada persaingan diantara mereka karena laila tidak
melanjutkan ke SMA.
“Kamu ngapain disini, la?”
“Aku kerja. Ya buat cari makan sama
biaya sekolah adikku, sebentar lagi dia sudah naik kelas dua SD.”
“Kamu yakin bisa kerja ditempat
seperti ini.”
“Bagiku semua pekerjaan tidak ada
yang jelek asalkan halal.”
“Orangtuaku sedang membutuhkan
pelayan. Kalau kamu mau, kamu bisa bekerja disana.”
“Memang pelayan apa?”
“Pengantar kue. Walaupun gajinya
tidak seberapa, tapi kamu bisa mencicipi kue-kue yang ada ditoko. Ada kue keju,
coklat, dan untuk edisi ramadhan ada menu-menu baru, Hehe..”
“Menu baru?”
“Ada kue kurma juga loh.”
“Hah! Iya. Iya aku mau.”
“Kalau begitu sekarang saja mulai
kerja. Kamu gantikan aku mengantarkan kue ke alamat ini ya. Kuenya sisa satu,
nanti kamu bawa pulang buat berbuka.”
“Terima kasih banyak Daf. Kue ini
sangat berharga buatku.”
***
“Teh….kurmanya banyak sekali. Aku
ingin memanjat pohon kurma itu teh. Aku ingin bisa memanjat pohon kurma seperti
lelaki berbaju putih itu. Dia sangat pandai, caranya mengambil kurma membuatku
iri. Apa dia pernah sekolah memanjat?? Dia memberiku banyak kurma segar teh.
Enak dan manis.”
Dikala Ilham masih mengurai
mimpi-mimpinya, Laila menaruh kue kurma disamping tempat tidur Ilham. Laila
menatap sendu wajah adiknya. Ia bersyukur, Allah masih memberinya permata indah
dalam hidupnya. Adik yang begitu menyayanginya. Tak sejengkalpun Laila rela
melihat adiknya sedih apalagi sakit seharian seperti ini. Aku mohon kepada
Allah yang Maha Agung, Rabb yang menguasai Arsy yang agung, agar menyembuhkan
sakitmu, adikku.
Penjaga
KampoengKU,
Husniatin
Sholihah