Tanah
Berlian
“Ayo semuanya masuk!!” satu persatu
tenaga kerja wanita dari penjuru negara Asia itu diangkut layaknya sampah yang
akan dibawa ke tempat pembuangan akhir. Harapan mereka menginginkan kehidupan
yang lebih baik nampaknya tidak akan mudah. Sama halnya dengan Minah, semua
berangkat dengan membawa doa dari keluarga demi perbaikan masa depan. Mereka
merelakan cita-citanya dan memilih menjadi TKW untuk menambal hutang keluarga.
“Kalian tahu kita akan dibawa
kemana?” Minah berusaha bertanya kepada wanita paruh baya yang duduk di
sampingnya.
“Saya juga orang baru di sini.”
Tentunya bukan itu jawaban yang diharapkan Minah.
“Bukannya sesuai kontrak kita seharusnya
sudah berada di tempat pembinaan.” Celetuk wanita lain yang kebetulan juga dari
Indonesia sehingga Minah mengerti apa yang diucapkannya. Hati Minah mulai
gundah. Ia menangkap gerak gerik mencurigakan sejak ia sampai di pelabuhan entah
di mana. Beberapa petugas selalu mengalihkan pembicaraan ketika hendak ditanya.
Petugas itu seperti sudah terlatih untuk menyembunyikan informasi.
“Besok pagi kita akan sampai di
tempat tujuan.” Minah semakin curiga mendengar ucapan petugas yang sejak tadi
mondar-mandir menghitung jumlah kami. Minah semakin penasaran akan berujung
kemana perjalanannya. Pikirannya semakin tak menentu. Bahkan ia sempat berpikir
akan dijual ke tempat prostitusi seperti yang sering ia lihat di televisi. Lebih
dari sembilan jam perjalanan kami diangkut dengan dump truk seperti membawa
barang yang siap dikemas dan dijual.
“Cepat turunkan juga semua barang
kalian!!” Beberapa petugas sudah berdiri rapi ketika rombongan kami tiba.
Benda-benda elektronik disita. Bergiliran nama kami dipanggil, butuh berjam-jam
untuk menyelesaikan karena jumlah kami hampir ratusan. Para petugas telah membawa
data diri kami. Kami dipaksa berjalan di tengah malam tanpa penerangan. Sesekali
kami harus menahan sakit karena melintasi bebatuan terjal. Kami mulai
bergandengan tangan meski belum saling kenal, yang kami tahu, kami harus terus
berjalan jika ingin selamat. Beberapa wanita terjatuh karena gelapnya malam. Kami
jelas berada di tempat yang salah. Petugas mulai berteriak-teriak bahkan
memaki. Yang kami heran adalah petugas-petugas itu juga seorang wanita.
Ketika hari mulai menyibakkan fajar,
samar-samar kami menangkap bayangan aneh. Bayangan itu perlahan semakin jelas.
Kami berdiri tepat di tengah lautan manusia. Apa yang sedang mereka lakukan??
pertanyaan itu yang pertama muncul di benak Minah. Ada yang membawa cangkul, menenteng
sekrup, pengungkit, linggis, persis seorang penambang atau penggali. Pelayaran
kami dari rumah menaiki kapal melintasi beberapa malam terbayar dengan dataran
tandus. Kami dipaksa melihat adegan keji. Seorang wanita kurus termakan borok
dicambuk berkali-kali hingga ia tersungkur. Tak satupun suara membelanya
apalagi membantunya. Gagak menunggu calon bangkai. Minah melihat neraka, jantungnya
semakin kuat berdetak.
“Rombongan yang baru tiba, siapkan
diri kalian untuk menggali tambang berlian.” Dimana aku sekarang?? Apakah aku
masih berada di kapal dan bermimpi?? Oh, semoga benar ini hanya mimpi buruk yang
biasa dialami TKW. Minah mulai kalut.
“Jangan ada kata mengeluh, keruk
semua yang ada di depan kalian!” petugas berbadan tambun mulai meneriaki kami. Dia
pimpinan, selalu membawa cambuk dan senapan di kantong celana kanan dan
kirinya. Ada pula petugas yang bertugas mengawasi cara kami menambang. Ia tak
akan segan memaki kami dengan umpatan kotor bahkan menyumpai keluarga kami bila
terjadi kekeliruan. Jika kami tidak terima, cambuk atau sayatan pisau akan
melayang di tubuh kami. Mereka lebih suka menyiksa perlahan-lahan dibanding
membunuh kami secara langsung.
Petugas-petugas bertopi dengan seragam yang
bertuliskan deretan huruf yang sulit untuk dikenali itu, tiap sebulan sekali memeriksa
kesehatan kami. Mereka seperti memilih kacang yang hendak dimakan dan dibuang.
Mereka menempatkan kami sesuai umur. TKW yang berumur di atas 30 tahun akan di
tempatkan di ruang isolasi, dan yang berumur jamur, panggilan untuk TKW di
bawah 30 tahun akan ditempatkan di ruang terbuka. Tentunya kami harus berbagi dalam
segala hal dengan ratusan wanita lain. Setelah sebulan menjalani kerja paksa,
Minah baru mengetahui jika ia berada di kota Namibia, jaraknya beberapa
kilometer setelah pelabuhan Luderitz.
Semakin hari perlakuan petugas-petugas itu semakin
keji. Wanita yang sudah tua dibiarkan terlantar tanpa diurusi, borok yang
menggerogoti tubuhnya dibiarkan menganga. Hampir setiap hari kami menemukan
timbunan mayat di area penambangan berlian. Setiap dua minggu sekali akan ada
truk pengangkut sampah-sampah manusia. Ya, petugas itu menyebut kami sampah
manusia. Dalam sehari kami hanya diberi waktu sejam untuk istirahat, termasuk
makan dan buang hajat. Jika lebih dari itu, kami akan dijadikan santapan penjepit
tikus. Sebuah alat yang dirancang khusus untuk menyiksa tawanan yang melanggar
aturan.
§
Minah masih belum percaya dengan apa
yang dialami. Ia teringat adik-adiknya di rumah. Minah ingin kembali ke kampung
halamannya, ia rindu negaranya, rindu memeluk negeranya yang permai di bawah
zamrut khatulistiwa. Benar kata orang bahwa hujan batu di negara sendiri lebih
enak dibanding hujan emas di negara orang. Ia merasakan gejolak batin luar
biasa. Menjalani hari-hari di tempat itu bagai mendekam di kuburan. Pagi tak
lagi menghasilkan bulir kesejukan, matahari siang seolah mengutuk tempat itu
dengan keganasannya, keremangan sore mengabarkan kematian akan segera
menjemput, dan malam selalu berlalu tanpa sinar rembulan. Burung-burung takut
melintasi langit kota itu. Hujan pun tanpa sudi untuk singgah sebentar sekadar
membahasahi buminya. Minah sering mendengar tangisan wanita-wanita senasib
dengannya di tengah malam. Mereka meratapi nasibnya. Kepergian mereka menjadi
TKW, termasuk Minah sendiri membawa harapan besar bagi keluarga. Di sini
harapan itu dipermainkan. Janji-janji yang diberikan petugas imigrasi kepada seluruh TKW hanyalah isapan jempol belaka. Iming-iming
kerja layak, gaji besar, pulang bisa membangun bisnis sendiri, semua itu pupus
sudah. Minah tidak habis pikir kenapa dia dan TKW lainnya bisa sampai di neraka
yang tidak memberi ampun itu, padahal dia sudah mengikuti prosedur yang ada.
Minah menjadi TKW secara legal, ia telah membayar sejumlah uang ke lembaga yang
menyalurkannya. Ah, apapun itu, semua sudah terjadi, satu keinginannya, segera
meninggalkan kota terkutuk itu.
“Mengapa di tempat terpencil seperti ini bisa
menghasilkan berlian?”
“Dahulu kala, orang-orang yang hidup
di sini adalah kaum bangsawan.”
“Apa kamu tidak tahu mengenai rumor
tanah berlian?”
“Para petugas menyebut tanah ini
sebagai tanah berlian atau luderic. Banyak berlian yang tertimbun di tiap
jengkal tanahnya.
“Lalu kemana penduduk yang tinggal
di sini?”
“Ratusan tahun yang lalu, terjadi
peperangan di kota ini, semua penduduk mengungsi dan tak sempat membawa harta
mereka. Sekarang menjadi kota mati.” Rumor mengenai tanah berlian sudah tidak
asing lagi, baik dikalangan penambang maupun petugas. Semua beranggapan bahwa
tanah di kota itu penuh timbunan berlian. Ribuan orang berlomba-lomba untuk
menemukan kota mati (kolmanskop) dan berharap bisa mengeruk semua kekayaan di
dalamnya.
Ceruk-ceruk bekas penambangan
menambah keseraman kota itu di kala malam. Tata kota yang sekarang menjadi
pusat penambangan itu sekilas mirip istana pasir dari bentuk bangunan. Ibarat
saksi sejarah, sekarang hanya menyisakan puing-puing kejayaan di masa lalu.
Beberapa pemandian dibangun dengan arsitektur mewah. Berdiri pula bekas
patung-patung simbol keagungan kota. Bisa dibayangkan betapa kemakmuran dulu
menyelimuti penduduk kota. Mungkin itu alasan paling logis kota itu disebut
tanah berlian.
Kami bekerja sebelum ayam mulai berkokok dan
berakhir sampai bulan enggan menampakkan sinarnya. Kerja keras kami tidak
sebanding dengan hasil yang kami dapat. Dalam sehari tiap orang bisa
mendapatkan bergram-gram berlian sehingga dalam sehari ribuan diamond terbaik
bisa terkumpul. Jumlah yang tidak mungkin bisa dibayangkan orang seperti Minah
dan kawan-kawannya. Berlian yang didapat terkadang berupa pecahan-pecahan,
tetapi tidak jarang berupa cincin, kalung, bahkan perabot berlian. Terselib juga
batu zamrut, safir, atau rubi dari timbunan pasir. Kami menggali, mengeruk,
mengayak pasir demi memenuhi hasrat petugas-petugas rakus itu. Berlian-berlian
yang sudah terkumpul akan dibawa dengan mobil. Sekilas mobil itu menyerupai
pengangkut sampah, mungkin untuk mengelabuhi petugas pelabuhan. Jika dalam 6
bulan tubuh kami sehat, kami akan mendapat kenaikan upah, tetapi jika kerja
kami menurun, cambukan akan menjadi upah kami. Jika ada wanita yang meninggal,
keluarganya akan mendapat kompensasi dengan alasan keteledoran saat bekerja. Kata
“manusia” tidak lagi tepat untuk para petugas berseragam itu.
§
“Pergi. Pergi. pergi!!” Awalnya
suara itu terdengar pelan hingga akhirnya semakin keras dan bertambah keras.
Dalam mimpinya, Minah mendengar suara orang meraung-raung hingga ia bisa
merasakan nafas suara itu. Ia tercekik dengan mimpinya. Minah menjumpai kota mati
dalam mimpinya, tetapi nampak indah dengan kastil-kastil menjulang dihiasi
berlian. Kerumunan orang lalu-lalang melakukan transaksi jual beli berlian.
Banyak pula diantara mereka yang terlihat berjudi. Anak-anak kecil bermain
saling melempar buah. Kota itu bak demam berlian. Tiba-tiba datanglah gulungan
pasir menelan penduduk tanpa ampun. Tak satupun diantara mereka yang selamat. Teriakan.
Jeritan. Semakin keras jeritan orang-orang itu seolah meminta tolong, mengutuk.
Penduduk tanah berlian hidup dalam mimpi Minah.
Tidak bisa dipungkiri mimpi Minah begitu
menguras pikirannya. Hari itu ia susah berkonsentrasi. Apa arti mimpinya?
mungkinkah hanya mimpi biasa sebagai akibat dari kegelisahannya selama ini?
Minah berusaha melupakan mimpi itu. Akan tetapi, setiap hari ia memimpikan hal
yang sama. Sebuah kota tertimbun pasir. Minah tidak tahu harus bercerita kepada
siapa mengenai mimpinya. Para wanita sibuk memikirkan nasib mereka, mana
mungkin mereka bersedia mendengarkan mimpi.
Genap dua bulan Minah di kota mati
itu, tapi serasa seabad. Kejadian demi kejadian telah ia saksikan. Penambang
yang mati mengenaskan gantung diri, penambang yang mencoba kabur dan berakhir
dipenjepit tikus, atau mengenai penambang yang hilang tak berjejak. Akhir-akhir
ini para petugas disibukkan dengan banyaknya penambang yang hilang tanpa sebab.
Tengah malam sering terdengar jeritan melolong dan esok hari jumlah penambang
yang hilang akan bertambah. Kami sesama penggali berlian tidak bisa memastikan
bagaimana hilangnya penambang karena kami berbeda bahasa dan hanya sedikit
waktu berkomunikasi. Minah yang sudah dua bulan, baru mengenal empat orang
diantara ratusan penambang lain. Ketika tengah malam tiba, penambang-penambang
meringkuk dan tak banyak bergerak. Jeritan itu terdengar lagi. Esok diketahui
bahwa seorang petugas yang berjaga malam telah lenyap. Sekarang kegelisahan dan
ketakutan dirasakan pula oleh petugas. Mereka awalnya meremehkan kejadian
hilangnya para penambang, tetapi sekarang mereka saling menyalahkan. Rasa takut
menyelimuti kota mati, mencekam hati siapa saja.
“Segala sesuatu pasti ada
pemiliknya. Mereka akan mengutuk kita jika mengambil sesuatu tanpa izin. Akan
ada banyak korban lain. Kita harus segera menghentikan penambangan ini.”
“Beraninya kamu bicara seperti itu. Lancang!”
petugas menjambak rambut Minah yang tiba-tiba berbicara lantang di hadapan
semua penambang dan petugas.
“Saya tahu bahwa rumor yang kalian ciptakan di
kalangan TKW semua itu bohong. Penduduk tanah berlian tidak mengungsi karena
terjadi peperangan seperti yang kalian ceritakan. Mereka semua tertimbun pasir
akibat keserahan mereka akan berlian.” Mendengar ucapan Minah yang tetap lantang
meski ia kesakitan, semua kaget, mereka gaduh. Tetapi ada juga yang masih
meragukan cerita Minah, terutama para petugas. Mereka justru menghakimi Minah.
Minah dianggap telah mencemarkan nama baik dengan membuat cerita palsu. Nasib
Minah diujung tanduk.
Minah diseret secara paksa ke sebuah
terowongan tempat penyiksaan. Apa yang akan diterima di terowongan itu lebih
menyakitkan dibanding penjepit tikus. Minah tidak diberi makan selama dua hari.
Dia dikurung berteman gelap. Nasibnya benar-benar akan berakhir dalam
terowongan jika ia tidak segera keluar. Hidung Minah mulai tidak bisa mencium
apapun, badannya gemetar akibat udara dingin di kala malam. Minah sering
mengigau dalam tidurnya. Ia masih sering memimpikan kota yang tertimbun pasir. Minah
mendengar jeritan. Kali ini jeritan itu nyata. Orang-orang menjerit persis
seperti dalam mimpi Minah. Pasir telah menggulung-gulung di atas awan. Setiap
butiran pasir yang berterbangan menyimpan kutukan, membentuk gumpalan pasir. Badai
pasir siap mencengkram siapa saja yang ditemui. Guncangan dahsyat menyambar
bebukitan dan bangunan tua di kota mati. Penambang dan para petugas kalang
kabut mencari perlindungan. Mata Minah menyibak kenangan bersama keluarganya.
Pandangan Minah kabur, temaram ia melihat bayangan orangtuanya, senyum mereka
mengembang mengalahkan bunga-bunga yang bermekaran di taman firdaus. Di dalam
terowongan, Minah hanya bisa bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang terjadi,
dilihatnya satu kakinya telah tertelan pasir. Ini nyata.
§
“Benarkah
mbak akan menerima tawaran kang Karjo?”
“Ini
satu-satunya pilihan yang mbak harus lakukan untuk memenuhi kebutuhan kita,
Ning. ” Ini bukan kali pertama Ning yang masih duduk di sekolah menengah
pertama itu membujuk Minah, kakaknya untuk tidak pergi bekerja menjadi TKW.
Tetapi keinginan Minah sudah bulat, habis akal Ning mencari cara untuk menghalangi
niat Minah. Minah beralasan bahwa bekerja di negara sendiri tidak akan mampu
memperbaiki keuangan keluarga yang semakin menipis setelah ibu dan ayah mereka meninggal.
Minah baru lulus sekolah menengah atas beberapa bulan yang lalu, tapi ia sudah
memikirkan nasib keluarganya. Ia satu-satunya tulang punggung keluarga bagi
kedua adiknya, Ning dan Agus yang masih duduk di sekolah dasar. Minah memendam
keinginannya untuk melanjutkan kuliah dan lebih memilih bekerja demi masa depan
keluarganya.
Minah mungkin tidak bisa
menggantikan fungsi kedua orangtuanya bagi adik-adiknya. Tetapi pantang baginya
melihat kedua adiknya putus sekolah meski ia harus mengubur cita-citanya
sendiri. Bila perlu, Minah akan menghabiskan masa umurnya membiayai hidup
adik-adiknya. Dan menjadi TKW adalah pilihan satu-satunya Terkadang memang
seseorang harus memilih pilihan yang sulit. Tidak sesederhana pilihan ganda
dalam soal ujian sekolah.
Edc.
Misteri
Tuban,
01 Februari 2013
Edc. Manisan....chek it out!!