Sketsa MonaLisa
Lima ratus tahun yang lalu, kecantikan itu masih terlukis
jelas lewat goresan cat minyak yang memoles seluruh wajahnya. Alis yang hilang
remang oleh guratan tinta warna kehidupan. Lengkung bibir merona tak terjangkau
lelaki yang memandang, rambut yang terurai hingga ke bahu seakan mengabarkan
keindahan. Rona merah pipi seperti telah sengaja diciptakan tanpa cacat oleh
pelukisnya, sinar mata yang tajam seolah telah mengenal seluruh sudut dunia
ini. 31 tahun sudah menapaki kehidupan, bersimpuh mengenakan kasa lutsinar,
menatap Sang Pelukis dari kejauhan.
♣♣♣
Aku wanita, sebagai karya tertinggi. Keagungan Pencipta
terpancar dalam tiap deru jantung dan aliran darahku. Jutaan pengagum mengintip
kebesaranNya, mereka berebut menyuntingku. Kekaguman terlihat di raut wajah
para lelaki yang siap memegang kuas-kuas kasih sayang, memaku sendi-sendi
kesetiaan, mencipta sebuah galeri keluarga. Di tengah perjalanan panjang itu,
ada rasa ingin menyulut keharmonisan, membakar problem kehidupan, dan merebakkan
wangi kedamaian jiwa.
Mengkaji lewat
seberkas cahaya inframerah, ilmuwan dari penjuru kehidupan berusaha mengenalku
lebih dekat, dengan teknik supercanggih, mereka berlomba melihat tiap gores
lapisan cat yang membangun kecantikanku. Diriku bak obyek penelitian “Sungguh di atas kecangggihan teknologi,” kabar para ilmuwan. Pikiran tak lagi dapat
mengontrol emosiku. Jiwa telah kalah dalam relung program pengontrol emosi yang
di ciptakan oleh ilmuwan terhebat. Setiap hari emosiku terkendali remote teknologi, 83 % gembira, 9 % rasa
muak, 6 % takut, dan 2 % marah. Ah, aku merasa tidak mengenal rasaku sendiri.
Apakah wanita tercipta bukan untuk dirinya sendiri? Apakah sebelum diciptakan,
wanita telah terjual? pahamkan aku sebatas apa rasa kepemilikan seorang wanita.
Para ahli
psikologi tidak ingin kalah, mereka mencoba menafsirkan setiap sudut-sudut
terkecil hidupku, membongkar makna ke-ada-anku. Dengan berani, mereka mengadakan
konferensi, menjajah senyumku. “Sungguh
karya seni yang menakjubkan,” pernyataan para Psikolog. “Tiada karya seni seagung senyum wanita,”
tambah Psikolog ternama. Jujur, aku ingin menyimpan misteri senyumku untuk
sosok pemilik. Tetapi, senyum itu telah direka ulang. Sekumpulan penyelidik
yang rakus berhasil membongkar makna seulas senyuman di diriku.
♣♣♣
Aku ingin menjadi lelaki, melepas semua organ yang
menjadi bukti aku adalah seorang wanita. Di depan kaca, berharap yang terlihat bukanlah diri yang sebenarnya. Nampak
jelas tubuh yang menggantung setinggi 77 cm dengan berat
53 kg. Sungguh bentuk yang ideal. Aku lebih rela Tuhan membalik takdirNya,
melahirkanku dengan suara besar, kasar, menakutkan. Lemak yang menggumpal di
seluruh urat-urat tulang, sampai tidak berbekas rasa sakit. Menghantam siapa
saja yang mengganggu, memilih, mendapatkan setiap wanita yang melenakan. Dengan
kata lain, aku berhak membeli seonggah daging yang membutakan mata hati itu,
tanpa harus merasakan gejolak sakit yang berkepanjangan. Setiap malam, keleluasaanku
akan melukis detail-detail kenikmatan, mengikuti alur nafsu, memenjarakan
wanita-wanita yang mempermainkan masa, penghalang pengabdian.
Aku ingin
mengandung, memakai daster berukuran XL.
Aku wanita, ingin segera melahirkan, memiliki guratan-guratan di perut, tanda
wanita telah berumur. Menimang buah hati yang gemuk dan sehat. Setelah itu,
namaku tidak lagi wanita, tapi seorang ibu. Tengah malam terbangun oleh tangisan
yang merindukan pangkuan. Sibuk mengukur berapa ml botol susu yang harus diisi.
Hampir setiap pagi ada tumpukan ompol dalam bak. Menyusun rencana berlibur dihari
minggu, mendengar celoteh “ ibuku seorang
wanita yang hebat” betapa bangganya. Inilah puncak potret wanita. Aku ingin
melaksanakan tugas seorang ibu, mengajarkan arti hidup dan kehidupan.
Memahamkan ketulusan, menorehkan manfaat kejujuran, memulas arti kebersamaan,
menyeru kebaikan. Tidak hanya itu, juga ingin menyelidik kejahatan, membongkar
resiko kemarahan, menyimpulkan betapa dahyatnya kesejatian.
Aku ingin menjadi
tua, memudarkan segala pesona. Mempunyai kerutan sekitar mata, lengkung bibir
yang beku, rambut yang kusut, pipi menggelayung keriput. Memandang kehidupan
dari sudut yang berbeda, menanti ketiadaan. Melompati masa muda yang curam
tajam, menghindari kegamangan. Hidup diantara kesendirian dan ketentraman, jauh
dari pilihan yang membingungkan. Meraba setiap jengkal kesalahan, melapisi kemunafikan
dengan kebaikan. Menimang anaknya anakku dikala fajar dan senja hari, memberi
petuah akan kehidupan. Tidur di bawah hangatnya sinar kesenjaan, sambil
menghirup aroma kopi yang siap di depan kursi goyang. Mulai berkisah tentang
tipuan Si kancil kepada kura-kura, meniru siput yang cerdik menegur kesombongan
kelinci, berlatih kerjasama dari gajah dan
semut. “Mengapa kancil tidak mencuri uang
saja, kenapa harus ketimun?” sesekali bingung menjawab keingintahuan pikiran
muda (cucu). “Apakah aku harus jadi
seperti siput?” ada kesegaran yang merasuk dari pertanyaan polos itu, seperti
suara alam yang menyeru, mengabarkan kelelahan. Tapi, keinginanku tidak sebatas
penginderaan, masih ada benih cinta yang harus kutabur, berharap suatu kala bisa
menuai kasihNya.
♣♣♣
Aku bukan Mona
Lisa. “Kecanggihan teknologi tidak akan
mampu mendeteksi perasaanku,”
tegasku kepada ilmuwan. Hidup mati teknologi
bergantung pemikiran, sedangkan hidup matiku di tentukan seberapa dekat
orang-orang membutuhkanku. Di atas kayu Poplar, Mona Lisa terlukis menawan tak
berdaya oleh pandangan tiap wisatawan yang ingin menikmati, sedangkan diriku,
di atas penciptaan alam raya ini, tergambar dengan keberdayaan merubah segala
tingkah.
Aku bukan Mona Lisa. “Aku bukan karya seni milik Museum Louvre
yang haus popularitas, yang
sewaktu-waktu bisa di curi. Aku adalah wanita yang punya dunia,” tegasku
untuk Psikolog. Mona Lisa, dalam kungkungan pigora hanya bisa menerawang siapa
saja yang mendekat, sedang diriku dengan anugerah penglihatan, dengan anugerah
pendengaran, serta anugerah perasa akan membangun citra tertinggi kisah
hidupku. Bukan sekadar mencipta kekaguman, tapi juga kebanggaan.
Seribu tahun
yang akan datang, aku tetaplah wanita. Wanita yang menjadi legenda, bagi
keturunan, bagi jutaan peradapan. Mengurai tiap garis kehidupan dengan pewarna
kebaikan, menyatu dalam ketulusan. Meskipun aku bukan Mona Lisa yang terlahir
oleh darah kebangsawanan, kesucian darahku tak akan henti mengaliri tiap masa jejakku.
Lukisan monumental Da Vinci akan termakan usia, hanya membekas berdebatan.
Lebih dari itu, aku ingin menorehkan namaku sebagai judul zaman. Aku bukanlah
Mona Lisa, aku wanita yang ingin menjadi sejarah, bagi orang-orang yang membenciku
dan menjadi cerita kenangan indah bagi orang-orang yang mencintaiku. Hidupku
tidak akan pernah mati dan matiku akan selalu hidup.
Aku wanita, karya Sang Pencipta, bukan guratan kanvas Da
Vinci. Penciptaan tertinggi di atas cahaya alam, melebihi seniman profesional
sekalipun. Ke-ada-anku dan ke-tiada-anku telah lebih dulu tergores dalam tinta
takdir yang tak bisa di hapuskan. Ratusan teori terbaru tak akan sanggup
menembus betapa dalam hatiku. Meskipun debu siap mengotori lukisan perjalanan
panjangku, akan aku poles debu itu menjadi pelopor kecintaan Yang Maha
Sempurna. Sang Pelukis telah menciptakan adaku sebagai bukti ekspresi
KebesaranNya. Pelukisanku dengan teknik tertinggi melebihi teknik Da Vinci
kepada Mona Lisa.