Mendadak ke Korea


.

Mandi air hangat di tengah dinginnya Korea sungguh menyenangkan. Tidur sejenak diantara penduduk Korea seakan melepas kepenatanku menghadapi mata kuliah yang bertumpuk,  tugas yang bertubi-tubi. Membicarakan keindahan tempat-tempat di Korea bersama seorang nenek tua yang menghabiskan harinya di kehangatan pemandian umum, membuatku tak ingin beranjak keluar. Apalagi, ketika tiba-tiba lelaki tampan memotong pembicaraan kami. “Annyeonghaseyo…” sambil mengulas senyum menawannya, laksana bintang film favoritku, Choi Siwon. Ia menambah deretan keindahan Seoul, Korea.
“Kamu belum ke Korea kalau belum menikmati sensasi kelezatan Kimchi”. Kali ini, dengan perkataanya, dia memesonaku. Deretan giginya yang putih membuat pemandian umum di pinggir jalan menjadi sangat mewah dimataku. Apakah lelaki tampan ini berniat mengajakku makan Kimchi di tengah turunnya salju yang indah sebagai ucapan welcome in Korea? Ah, andai saja. Mungkin itu hanya bualan dari lelaki kesepian di Korea atau jangan-jangan dia salah satu penjual Kimchi sehingga dia memikatku agar aku membeli jualannya. Tidak mungkin. Kulitnya seputih salju, badannya tegap, dan tutur katanya berwibawa, wajahnya tidak mengisyaratkan kemiskinan, dan badannya tidak berbau sabun murahan. Tapi kenapa dia bisa berada di pemandian umum? Au ah. Tidak ada salahnya juga aku mengikuti anjurannya. Hm, keramahan orang-orang di sini menambah kedalamanku mencintai Korea Selatan. Aku menggulung handuk membentuk dua tanduk di kepalaku. Aku membuka karpet kecil, tidur beberapa menit diiringi musik Korea. Entah apa nama musik itu, aku tidak peduli. Kemerduannya mengalahkan rasa penasaranku. Mimpi melahap semangkuk mie besar. Perlahan tapi pasti mie yang kenyal itu menelusuri tenggorokanku dan menggelinding licin ke dalam perutku yang keroncongan. Sungguh betapa nikmatnya.
Puas berendam air hangat di pemandian umum, aku berhenti sebentar membeli jajanan hangat di pinggir jalan, tidak ada salahnya mumpung berada di Korea, batiku. “Yeojayong sinbal-eul sago sipsimnida ‘Kimchi’ (saya ingin membeli ‘Kimchi’), dengan terbata-bata aku berusaha mengucapkan bahasa korea, Hangeul. Mungkin Jadong Panmaegi (pedagang kaki lima) itu bingung menerjemahkan kata-kataku, terlihat dari ekspresi wajahnya yang datar atau merasa heran dengan keberadaan wajahku yang sawo matang.  Biarkan saja. Menikmati Kimchi dengan kombinasi acar segar dibumbui rempah membuatku berhasil mengobati penasaranku atas omongan lelaki tampan di pemandian umum tadi, belum ke korea kalau belum mencicipi Kimchi. Tetapi, rasanya Kimchi saja belum mengobati rasa kepuasanku menjelah Korea. Aku belum menyantap potongan tipis daging Bulgogi, kepedasan saus cabe merah Bibimbap, kehangatan kaldu Naengmyong, dan tak lupa kue isian kacang-kacangan Songpyeong sebagai penutup. Menyusuri jalanan di tengah salju Korea yang dingin, melihat warga Korea berlalu lalang dengan aktivitas masing-masing seolah aku telah menjadi bagian dari mereka, Hangugeo.
Suasana perang antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak mengurangi kebahagianku di Korea. Tahun 2010 lalu, perang Korea terpecah kembali, setelah peperangan yang sama terjadi pada tahun 1950 silam. Pihak Korea selatan dan Korea utara saling melempar peluru antileri. Nyawa hilang sia-sia. Padahal kalau kedua pihak menyadari bahwa mereka berada dalam satu “rumah”,  tidak mungkin terlintas akan meluluhlantahkannya berkeping-keping. Tuhan telah mendesain rumah yang begitu mengagumkan dengan segala kemenawanannya yang membuatku ingin berlama-lama menyentuhnya. Interior yang menawan, dan eksterior yang megah. Sang Arsitektur Agunglah, yang membuat Korea berbeda dimataku. Melihat salju turun di tengah-tengah matahari siang hari membuatku ingin berlama-lama berada di Korea, meskipun seluruh tulangku hampir beku karena dinginnya salju. Bagiku, melihat salju seperti melihat kebahagiaan yang turun dari langit. Satu persatu kebahagiaan itu turun ke bumi untuk orang yang menerimanya. Bayangkan berapa banyak kebahagiaan yang diberikan Tuhan kepada kita? Aish! hawa dingin Korea yang menusuk hingga ke tulangku membuat pikiranku jadi ngelantur.
 Tidak pantas rasanya pergi ke Korea tanpa membawa oleh-oleh. Lebih tepatnya membawa barang untuk dipamerkan kepada teman-temanku. Aku menuju Supeomaket. Menuju deretan keperluan sehari-hari. Mengambil binu (sabun), seje (deterjen). Ke bagian makanan, aku mengambil uyu (susu), ppang (roti), beberapa satang (permen), dan tak lupa mie asli made in Korea.
                                    ***
Mendadak ingin sekali rasanya terbang ke korea. Pergi ke pulau eksotis, Jeju island. Kecintaanku dengan Negara satu itu, tidak lain karena pengaruh kegemaranku duduk berlama-lama di depan televisi. Yup, pemeran film-film korea hampir tidak ada yang buruk rupa, tentunya itu menurut pendapatku. Meskipun aku tahu, banyak penduduk korea yang memakai kecanggihan teknologi untuk memperindah wajah dan semua tubuh yang mereka rasa perlu diubah. Akulah mahasiswa yang mendadak cinta korea. Keindahan korea tidak sebatas penghuninya, tapi juga kebudayaan dan keindahan alamnya. Semua menarik ulu hatiku.
Matahari yang membakar kulit di Surabaya, sudah cukup berasalan bagiku ingin pergi ke tempat yang dingin. Bermain salju, membentuknya menjadi bongkahan salju besar, memasang mata, hidung, mulut, dan memasang kayu bercabang sebagai memanis kuping. Boneka salju yang lucu. Membayangkan berada di Korea sedangkan secara nyata kakiku masih tegap menyentuh tanah Surabaya, memang memalukan. Sebuah obsesi Mahasiswa yang lupa daratan. Andaikan aku menceritakan keinginanku itu kepada nenekku di kampung pasti kalimat yang ia ucapkan “ojo mimpi duwur-duwur nduk…” dan aku hanya akan menunduk tanpa membalas wejangan pahit itu.
Lagi-lagi keinginan untuk pergi ke Korea tidak terbendung. Dengan sigap aku mengangkat tasku, mengambil beberapa uang yang ada dalam dompetku. Tidak lupa aku memasukkan sebotol air putih, kalau nanti dalam perjalanan tenggorokanku kering kerontang. Angkot yang sesak menambah panas perasanku. Keringat tak terbendung lagi, beberapa teguk air mungkin bisa mengurangi panasnya Surabaya. Sampai di Supermarket yang dituju, aku bergegas mengambil ranjang yang tersedia di depan pintu. Aku menitipkan tas. Berputar menyusuri lorong menuju rak bagian keperluan sehari-hari. Aku mengambil sabun dan deterjen. Lanjut ke lorong sebelah di bagian makanan, aku mengambil susu, roti, beberapa permen, dan tidak ketinggalan mie rasa Kimchi dengan sensasi asli mie Korea seharga Rp.8000,-. “Menikmati mie Korea, seakan menikmati keindahan Korea yang sebenarnya….” itulah yang dikatakan salah seorang pelayan Supermarket tampan yang tiba-tiba saja menghampiriku. Dia mengulas senyumnya.


Your Reply

Mendadak ke Korea

Mandi air hangat di tengah dinginnya Korea sungguh menyenangkan. Tidur sejenak diantara penduduk Korea seakan melepas kepenatanku menghadapi mata kuliah yang bertumpuk,  tugas yang bertubi-tubi. Membicarakan keindahan tempat-tempat di Korea bersama seorang nenek tua yang menghabiskan harinya di kehangatan pemandian umum, membuatku tak ingin beranjak keluar. Apalagi, ketika tiba-tiba lelaki tampan memotong pembicaraan kami. “Annyeonghaseyo…” sambil mengulas senyum menawannya, laksana bintang film favoritku, Choi Siwon. Ia menambah deretan keindahan Seoul, Korea.
“Kamu belum ke Korea kalau belum menikmati sensasi kelezatan Kimchi”. Kali ini, dengan perkataanya, dia memesonaku. Deretan giginya yang putih membuat pemandian umum di pinggir jalan menjadi sangat mewah dimataku. Apakah lelaki tampan ini berniat mengajakku makan Kimchi di tengah turunnya salju yang indah sebagai ucapan welcome in Korea? Ah, andai saja. Mungkin itu hanya bualan dari lelaki kesepian di Korea atau jangan-jangan dia salah satu penjual Kimchi sehingga dia memikatku agar aku membeli jualannya. Tidak mungkin. Kulitnya seputih salju, badannya tegap, dan tutur katanya berwibawa, wajahnya tidak mengisyaratkan kemiskinan, dan badannya tidak berbau sabun murahan. Tapi kenapa dia bisa berada di pemandian umum? Au ah. Tidak ada salahnya juga aku mengikuti anjurannya. Hm, keramahan orang-orang di sini menambah kedalamanku mencintai Korea Selatan. Aku menggulung handuk membentuk dua tanduk di kepalaku. Aku membuka karpet kecil, tidur beberapa menit diiringi musik Korea. Entah apa nama musik itu, aku tidak peduli. Kemerduannya mengalahkan rasa penasaranku. Mimpi melahap semangkuk mie besar. Perlahan tapi pasti mie yang kenyal itu menelusuri tenggorokanku dan menggelinding licin ke dalam perutku yang keroncongan. Sungguh betapa nikmatnya.
Puas berendam air hangat di pemandian umum, aku berhenti sebentar membeli jajanan hangat di pinggir jalan, tidak ada salahnya mumpung berada di Korea, batiku. “Yeojayong sinbal-eul sago sipsimnida ‘Kimchi’ (saya ingin membeli ‘Kimchi’), dengan terbata-bata aku berusaha mengucapkan bahasa korea, Hangeul. Mungkin Jadong Panmaegi (pedagang kaki lima) itu bingung menerjemahkan kata-kataku, terlihat dari ekspresi wajahnya yang datar atau merasa heran dengan keberadaan wajahku yang sawo matang.  Biarkan saja. Menikmati Kimchi dengan kombinasi acar segar dibumbui rempah membuatku berhasil mengobati penasaranku atas omongan lelaki tampan di pemandian umum tadi, belum ke korea kalau belum mencicipi Kimchi. Tetapi, rasanya Kimchi saja belum mengobati rasa kepuasanku menjelah Korea. Aku belum menyantap potongan tipis daging Bulgogi, kepedasan saus cabe merah Bibimbap, kehangatan kaldu Naengmyong, dan tak lupa kue isian kacang-kacangan Songpyeong sebagai penutup. Menyusuri jalanan di tengah salju Korea yang dingin, melihat warga Korea berlalu lalang dengan aktivitas masing-masing seolah aku telah menjadi bagian dari mereka, Hangugeo.
Suasana perang antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak mengurangi kebahagianku di Korea. Tahun 2010 lalu, perang Korea terpecah kembali, setelah peperangan yang sama terjadi pada tahun 1950 silam. Pihak Korea selatan dan Korea utara saling melempar peluru antileri. Nyawa hilang sia-sia. Padahal kalau kedua pihak menyadari bahwa mereka berada dalam satu “rumah”,  tidak mungkin terlintas akan meluluhlantahkannya berkeping-keping. Tuhan telah mendesain rumah yang begitu mengagumkan dengan segala kemenawanannya yang membuatku ingin berlama-lama menyentuhnya. Interior yang menawan, dan eksterior yang megah. Sang Arsitektur Agunglah, yang membuat Korea berbeda dimataku. Melihat salju turun di tengah-tengah matahari siang hari membuatku ingin berlama-lama berada di Korea, meskipun seluruh tulangku hampir beku karena dinginnya salju. Bagiku, melihat salju seperti melihat kebahagiaan yang turun dari langit. Satu persatu kebahagiaan itu turun ke bumi untuk orang yang menerimanya. Bayangkan berapa banyak kebahagiaan yang diberikan Tuhan kepada kita? Aish! hawa dingin Korea yang menusuk hingga ke tulangku membuat pikiranku jadi ngelantur.
 Tidak pantas rasanya pergi ke Korea tanpa membawa oleh-oleh. Lebih tepatnya membawa barang untuk dipamerkan kepada teman-temanku. Aku menuju Supeomaket. Menuju deretan keperluan sehari-hari. Mengambil binu (sabun), seje (deterjen). Ke bagian makanan, aku mengambil uyu (susu), ppang (roti), beberapa satang (permen), dan tak lupa mie asli made in Korea.
                                    ***
Mendadak ingin sekali rasanya terbang ke korea. Pergi ke pulau eksotis, Jeju island. Kecintaanku dengan Negara satu itu, tidak lain karena pengaruh kegemaranku duduk berlama-lama di depan televisi. Yup, pemeran film-film korea hampir tidak ada yang buruk rupa, tentunya itu menurut pendapatku. Meskipun aku tahu, banyak penduduk korea yang memakai kecanggihan teknologi untuk memperindah wajah dan semua tubuh yang mereka rasa perlu diubah. Akulah mahasiswa yang mendadak cinta korea. Keindahan korea tidak sebatas penghuninya, tapi juga kebudayaan dan keindahan alamnya. Semua menarik ulu hatiku.
Matahari yang membakar kulit di Surabaya, sudah cukup berasalan bagiku ingin pergi ke tempat yang dingin. Bermain salju, membentuknya menjadi bongkahan salju besar, memasang mata, hidung, mulut, dan memasang kayu bercabang sebagai memanis kuping. Boneka salju yang lucu. Membayangkan berada di Korea sedangkan secara nyata kakiku masih tegap menyentuh tanah Surabaya, memang memalukan. Sebuah obsesi Mahasiswa yang lupa daratan. Andaikan aku menceritakan keinginanku itu kepada nenekku di kampung pasti kalimat yang ia ucapkan “ojo mimpi duwur-duwur nduk…” dan aku hanya akan menunduk tanpa membalas wejangan pahit itu.
Lagi-lagi keinginan untuk pergi ke Korea tidak terbendung. Dengan sigap aku mengangkat tasku, mengambil beberapa uang yang ada dalam dompetku. Tidak lupa aku memasukkan sebotol air putih, kalau nanti dalam perjalanan tenggorokanku kering kerontang. Angkot yang sesak menambah panas perasanku. Keringat tak terbendung lagi, beberapa teguk air mungkin bisa mengurangi panasnya Surabaya. Sampai di Supermarket yang dituju, aku bergegas mengambil ranjang yang tersedia di depan pintu. Aku menitipkan tas. Berputar menyusuri lorong menuju rak bagian keperluan sehari-hari. Aku mengambil sabun dan deterjen. Lanjut ke lorong sebelah di bagian makanan, aku mengambil susu, roti, beberapa permen, dan tidak ketinggalan mie rasa Kimchi dengan sensasi asli mie Korea seharga Rp.8000,-. “Menikmati mie Korea, seakan menikmati keindahan Korea yang sebenarnya….” itulah yang dikatakan salah seorang pelayan Supermarket tampan yang tiba-tiba saja menghampiriku. Dia mengulas senyumnya.


0 komentar:

Posting Komentar