Melati di bawah bantal Mbok


.

(Sebelum membaca cerpen ini, atur posisi duduk anda!)    
      
            Semilir lembayung fajar menerpa wajah keriput wanita yang setiap hari dihinggapi rasa pedih itu. Entah seberapa jauh pikirannnya menjelah masalah yang setahun lalu menimpanya. Hanya tatapan sayup yang terpancar semenjak kejadian itu.
            “Mbok iki ingin meracuni saya?!! Masakan kok hambar”. Tidak ada sahutan dari wanita yang sudah tidak muda lagi itu, tapi jelas terlihat ada kepedihan di wajahnya.
            “Nanti jangan lupa burung perkutut saya diberi makan, bilang pada Wak Bejo!”
            Injeh Tuan,” satu kata singkat itu yang mewakili kepasrahan Mbok Jah selama setahun ini. Apapun yang disuruh dan diminta Tuan, Mbok Jah tidak pernah sekalipun berkata tidak, meski itu menyakiti Mbok Jah. Sering Wak Bejo, Kakak tertua Mbok Jah  yang hidup bersama Mbok Jah setelah bercerai dengan istrinya, memarahi Mbok Jah agar jangan selalu menurut apa saja yang disuruh Tuan.
            “Mbok iku jangan mau dibentak-bentak”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Kita iki wes terlalu jauh Mbok”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Si Mbok iki terlalu memanjakannya”
            Iku lo Wak perkututnya cepat dikasih makan, nanti Tuan marah.” Percakapan Mbok Jah dan Wak Bejo hampir selalu tak berujung. Mbok Jah memang terlalu sabar menuruti semua keinginan Tuan, lebih tepatnya Mbok Jah terlalu menyayangi Tuan. Ada ketakutan setiap kali Mbok Jah ingin menolak keinginan Tuan. Sedangkan Wak Bejo dengan sikapnya yang tegas, akan marah ketika Tuan menyuruhnya dengan kasar. Pernah suatu ketika, Tuan memarahi Wak Bejo karena dianggap tidak becus merawat burung perkutut kesayangannya. Padahal sehari sebelumnya, Tuan memberi makan burung perkututnya dengan makanan baru yang katanya lebih mahal agar perkututnya berkicau merdu. Setelah itu, perkutut kesayangan Tuan sakit, badannya ringkuk tidak bergerak. Tuan dengan segala alasan dan makian menyalahkan Wak Bejo. Wak Bejo pun marah karena sebelumnya ia sudah mengingatkan bahwa Kliwon hanya suka makan beras ketan ireng, Tuan tidak menghiraukan, malah menganggap Wak Bejo sok tau.
            “Kliwon itu sudah aku pelihara bertahun-tahun, tahu apa Wak Bejo tentang Kliwon??! Wak Bejo di sini baru setahun. Jangan sok menasehati apa yang harus saya lakukan dan tidak.” Kurang lebih begitulah pertengkaran Tuan dan Wak Bejo karena burung perkutut, Si Kiwon.
            “Wak, aku iki khawatir karo Tuan”
            “Khawatir kenapa lagi Mbok?”
            “Umur Tuan iku wes ora muda, tapi kok durung nikah Wak?”
            “Mbok tidak usah ikut campur, apa Mbok ingat waktu Wak tanya mengapa rumah ini sepi, tidak ada anak maupun istri”
            “Iya, Mbok ingat betul Wak,” sambil Mbok mengingat-ngingat kejadian waktu Tuan tiba-tiba marah karena pertanyaan Wak. Mbok ingat benar betapa garang tatapan Tuan saat itu, seperti hendak menerkam tubuh Wak yang sudah ringsut. Setelah itu, baik Mbok Jah maupun Wak Bejo tidak pernah lagi menyinggung masalah istri. Meskipun sudah lama Mbok Jah dan Wak Bejo mengenal Tuan, terkadang mereka seperti baru mengenal sosok Tuan. Bekerja mati-matian sejak pagi hingga larut malam, seperti Tuan ingin membahagiakan seseorang dengan kemapanan yang ia raih sekarang.
            “Mbok, bersihkan buku-buku di perpustakaan saya, jangan sampai ada buku yang rusak.” Jelas terlihat kelelahan telah menghinggapi badan Mbok yang sudah tua, tetapi tidak ada perasaan lelah bagi Mbok ketika melakukan apa yang disuruh Tuan. Mbok melakukan semua itu dengan ikhlas. Satu per satu Mbok membersihkan buku-buku dalam rak dan menatanya dengan rapi. Tangan Mbok Jah tiba-tiba terarah pada buku tua yang bagian bawahnya sudah tidak utuh lagi dimakan rayap. Buku itu setua umur Mbok Jah. Warnanya telah memudar, seperti wajah Mbok Jah yang sudah tidak cantik lagi. Mbok membuka buku itu, penasaran mengapa Tuan menyimpan buku yang usianya jauh diatasnya. Dalam buku itu terselip sebuah surat berwarna abu-abu. Surat untuk Fatimah.

Untuk Fatimah,
                  Aku tidak sepandai arsitektur yang mampu mendesain gedung tua menjadi begitu megahnya. Aku pun tidak semahir penyair yang bisa mengolah kata-kata dengan indahnya. Aku hanya mampu menulis surat sederhana ini untuk mengatakan apa yang aku rasakan terhadapmu Fatimah. Jangan tertawa dan jangan marah ketika aku mulai menuliskan semua perasaanku.
                  Setiap pagi aku melihatmu menjemur pakaian di belakang rumah, aku selalu membayangkan akulah yang menjadi pakaian-pakaian itu, yang setiap pagi kamu jemur. Aku rela terbakar panasnya matahari demi selalu bersamamu Fatimah. Setelah itu, kamu selalu pergi ke pasar dengan menjinjing keranjang merah. Pulangnya keranjang itu telah penuh berisi sayuran dan ikan. Ingin sekali rasanya aku menjadi keranjang itu yang selalu menyentuh tanganmu Fatimah.
                        Lama aku pendam rasa ini. Rasa yang entah apa kamu juga merasakannya? Sepenuhnya aku serahkan padamu untuk menjawabnya Fatimah.

            Mbok Jah menangis membaca surat itu, tangannya gemetar seolah merasakan kegalauan dan ketakutan yang dirasakan Tuan ketika menulis surat itu beberapa tahun yang lalu. Mbok menceritakan apa yang ditemukannya siang itu kepada Wak Bejo. Sekarang mereka tahu alasan mengapa sampai sekarang Tuan belum menikah. Karena Tuan mencintai Fatimah. Tuan memendam perasaannya selama bertahun-tahun. Jelas ada ketakutan dihati Tuan untuk mengungkapkan perasaanya kepada Fatimah, terbukti sampai sekarang surat itu belum tersampaikan. Mbok Jah masih saja menangis. Ia membayangkan bagaimana perasaan Tuan jika mengetahui sekarang Fatimah telah menjanda.
            “Mengapa semua ini menimpa Tuan Wak? Opo salahku Wak?”
            “Mbok, iki kuwi wes ono seng ngatur” Mbok Jah menatap sendu Wak Bejo ditengah heningnya rumah Tuan yang mewah. Rumah berlantai 2 yang dipenuhi barang-barang mahal itu, terasa bagai gubuk reot yang diterpa gerimis dingin bagi Mbok Jah dan Wak Bejo malam itu.
Sikap Tuan yang kasar dan ucapannya yang tidak sopan sering membuat Wak Bejo berniat mengajak Mbok Jah pulang ke desa. Tetapi Mbok Jah selalu mengatakan bahwa selama Tuan masih belum menikah, Tuan masih menjadi tanggung jawabnya.
                                                            ╬╬╬
            “Uwak mau membelikan aku burung perkutut ya…”
            “Tapi kamu harus janji dulu, jangan nakal”
            “Iya. Kalau aku sudah besar nanti akan membahagiakan Uwak dan Mbok.” Matahari belum terang terlihat oleh mata, seorang anak dan Uwaknya sudah mengawali hari mereka dengan kasih sayang.
            “Ayo makan dulu……nasi jagung dan teri pepes sudah matang, kalian tidak akan bisa membeli perkutut dengan perut keroncongan” Pagi itu terasa hangat ditengah kebahagian sebuah keluarga yang sederhana. Kampung yang permai dengan rumah yang damai dikelilingi sawah dan pepohonan. Sayup-sayup angin menyelinap jendela rumah, sesekali melihat kelucuan seorang anak kecil yang memakai dasi, bercita ingin memakainya kalau sudah dewasa. Gurauan Uwak dan Mbok menggodanya menambah kelucuan anak laki-laki itu. Anak itu seolah tidak sabar menjadi dewasa.
            Sekarang setiap pagi sudah terdengar nyanyian merdu Sang perkutut. Mbok sering marah jika Uwak dan anak kecil itu seharian memandangi perkutut sampai lupa segala.
            “Uwak iku jangan mengajarkan anak menjadi malas.” Kemarahan Mbok meledak ketika Uwak mengulur-ngulur waktu ke sawah demi perkutut. “Mau makan apa kita Wak kalau Uwak tidak ke sawah. Kita semua akan kelaparan, begitu juga perkutut kesayanganmu itu.” Membayangkan perkututnya akan mati kelaparan, Uwak baru dengan sigap mengambil cangkul dan beranjak menuju sawah.
            “Malam ini aku tidur lagi dengan Uwak ya….” Longlongan anjing malam menjadi saksi betapa dekatnya hubungan Uwak dan ponakannya. Tubuh kecil itu menyusup ke dalam sarung hitam kelabu Uwak yang sudah tidak wangi lagi karena telah melewati malam-malam sebelumnya. Tetapi, anak kecil itu seperti tidak menghiraukan bau sarung itu, yang ia rasakan sarung Uwak membuatnya nyaman, hangat, dan melelapkan kantuknya. Kedekatan Uwak dan anak kecil itu seolah mengalahkan hubungan darah seorang bapak dan anaknya. Memang semenjak Sang anak hidup tanpa sosok bapak, Uwaklah yang mengajarkannya berbagai pelajaran hidup. Anak kecil itu mewarisi darah Uwaknya. Ada satu peristiwa yang menyadarkan Uwak bahwa darahnya telah mengalir pada anak kecil itu. Ketika suatu pagi, Uwak hendak pergi ke sawah, ia kebingungan mencari sepatu boot yang selalu dipakainya ketika pergi ke sawah, susah payah ia mencari ke berbagai sudut rumah. Kemudian Uwak melihat anak kecil itu dengan kaki yang kecil memakai sepatu boot Uwak sambil berkata kepada teman-temannya “Ini sepatu boot Uwakku, Uwakku sangat gagah jika memakainya. Aku ingin seperti Uwak.” Setiap pagi, Uwak tidak akan pergi ke sawah sebelum menghirup aroma kopi tumbuk kesukaannya, gaya minum kopi Uwak dengan membalik gelas di atas dan meminum kopi dari mangkirnya, membuat anak kecil itu sering diam-diam meminum kopi Uwak yang masih panas di meja dan menirukan cara Uwak meminumnya.
            Kehadiran anak kecil itu menyempurnakan hari-hari Uwak dan Mbok. Mbok lebih sering marah dengan semua tingkah anak kecil itu, sedangkan Uwak selalu tertawa lebar jika melihat anak kecil itu bertingkah dengan keluguannya. Tidak jarang Mbok memukul anak kecil itu dengan sapu. Pernah suatu hari, Mbok melihat baju-baju di jemuran berserakan di tanah. Mbok langsung mencari anak kecil itu sambil membawa sapu dan bersiap memukulnya. Anak kecil itu berlari mencari Uwaknya, berteriak-teriak dan akhirnya bersembunyi di balik badan Uwak. Uwak hanya tersenyum. Anak kecil itu sering mengadu kepada Uwak, bahwa ia terkadang benci dengan Mbok. “Aku tidak sayang dengan Mbok karena Mbok juga tidak  sayang dengan aku”. Uwak hanya tersenyum mendengarnya.
            Ketika benar-benar anak kecil itu marah kepada Mbok, ia sering menyelinap masuk ke kamar Mbok, hanya satu tujuannya, mengambil bunga melati yang ada di bawah bantal Mbok. Anak kecil itu tahu bahwa Mbok sangat menyukai melati. Mbok selalu menaruh melati di bawah bantalnya. Jika telah layu, Mbok mengganti dengan melati yang masih segar. Mbok telah melakukannya selama delapan tahun. Itu Mbok lakukan sebagai bentuk kerinduannya kepada Sang suami. Suami Mbok setiap malam menjelang tidur selalu memberikan segenggam melati dan berkata “Mbok, jadilah wanita seharum melati” Tapi semua alasan itu, terlalu jauh untuk dapat dipahami anak kecil itu. Ketika anak kecil itu merasakan kedekatan dan kasih sayang Mbok, anak kecil itu menaruh banyak melati segar di bawah bantal Mbok sampai berserakan di kasur, ia memetik melati yang tumbuh subur di belakang rumah. Teringat kejadian, ketika anak kecil itu hendak mengungkapkan rasa sayangnya kepada Mbok, karena Mbok membelikannya sepatu boot, tapi anak kecil itu tidak menemui satupun melati yang mekar. Akhirnya anak kecil itu menggantinya dengan bunga sedap malam. Mbok langsung bertanya kepada anak kecil itu mengapa ia lakukan itu. Dengan polos ia menjawab “Aku hanya ingin memberikan hadiah kepada Mbok, seperti Mbok membelikaku sepatu boot. Bunga melati di belakang rumah habis, jadi aku mencari bunga yang warnanya sama.” Mbok tersenyum, mata Mbok berair. Mbok sadar betapa ia menyayangi anak itu.
            Sekarang, anak kecil itu telah tumbuh menjadi lelaki dewasa. Ia telah menjadi Sarjana Pertanian. Ia telah siap mengarungi kehidupan, bekerja demi membahagiakan Uwak dan Mbok. Anak kecil yang sekarang telah berganti menjadi seorang lelaki dewasa itu pamit  pergi ke kota. Ia ingin mengadu nasibnya ke kota besar, Jakarta.
            “Uwak, Mbok, aku pamit pergi ke kota. Bekerja di sana, menjadi pengusaha yang sukses, punya rumah yang mewah, dan punya banyak pembantu untuk melayaniku. Hehe,,Doakan langkahku.” Anak lelaki dewasa itu mencium tangan Uwak dan Mbok. Kemudian melambaikan tangan dan berlalu.
                                                ╬╬╬
            “Mbok, kita iki bukan pembantu.”
            “Biarkan waktu yang memberitahukannya Wak.”
            “Aku wes ora kenal anakmu iku Mbok.”
            “Dia tetap anakku Wak. Keponakanmu.”
            “Sudah satu tahun kita hidup perpura-pura menjadi pembantu. Tingkah lagat dia yang kasar, tutur bahasanya yang tidak sopan karo wong tuo. Iku bukan ponakanku yang aku didik dulu.” Mbok menyadari apa yang diucapkan Wak Bejo memang benar. Sudah setahun ia dan Wak Bejo hidup perpura-pura menjadi pembantu demi anak kecilnya yang dulu ia cintai. Tetapi, sampai sekarang pengorbanan itu masih sia-sia. Anaknya tidak akan mengenalnya. Kecelakaan telah membuatnya lupa segalanya. Meskipun sekarang anaknya telah menjadi pengusaha sukses, mempunyai rumah yang mewah, dan tentunya Mbok dan Uwak sebagai pembantu, yang rela pergi ke kota meninggalkan rumah setelah mendengar “kebanggaannya” mengalami kecelakaan. Apalah arti itu semua, jika kini anaknya telah tiada dalam ke-ada-annya. Dengan keputusasaan, Mbok melangkah menuju kamar. Ia ingin menumpahkan segala rasanya selama ini. Ia ingat benar bagaimana dulu ia sering memukul anaknya dengan sapu ketika dia berbuat kesalahan, karena Mbok ingin mendidiknya menjadi lelaki yang bertanggungjawab dan bisa menjaga Mbok dan Uwak dalam masa tua. Mbok juga masih ingat, betapa besar usahanya membiayai anaknya hingga menjadi seorang Sarjana. Mbok berharap, agar anaknya bisa memjadi kebanggaan keluarga. Mbok menangis. Mbok merindukan anaknya. Mbok mencium wangi melati semerbak, seperti saat-saat ketika suaminya dulu memberinya segenggam melati setiap malam. Mbok merasakan suaminya berada di sisinya dan mendengar semua yang Mbok rasakan. Mbok membalik bantalnya, Mbok melihat ada melati segar di bawah bantal Mbok.





                                                                             Salam Penjaga Kampoeng,


                                                                                          Husniatin Sholihah






















                                                                                               

Your Reply

Melati di bawah bantal Mbok

(Sebelum membaca cerpen ini, atur posisi duduk anda!)    
      
            Semilir lembayung fajar menerpa wajah keriput wanita yang setiap hari dihinggapi rasa pedih itu. Entah seberapa jauh pikirannnya menjelah masalah yang setahun lalu menimpanya. Hanya tatapan sayup yang terpancar semenjak kejadian itu.
            “Mbok iki ingin meracuni saya?!! Masakan kok hambar”. Tidak ada sahutan dari wanita yang sudah tidak muda lagi itu, tapi jelas terlihat ada kepedihan di wajahnya.
            “Nanti jangan lupa burung perkutut saya diberi makan, bilang pada Wak Bejo!”
            Injeh Tuan,” satu kata singkat itu yang mewakili kepasrahan Mbok Jah selama setahun ini. Apapun yang disuruh dan diminta Tuan, Mbok Jah tidak pernah sekalipun berkata tidak, meski itu menyakiti Mbok Jah. Sering Wak Bejo, Kakak tertua Mbok Jah  yang hidup bersama Mbok Jah setelah bercerai dengan istrinya, memarahi Mbok Jah agar jangan selalu menurut apa saja yang disuruh Tuan.
            “Mbok iku jangan mau dibentak-bentak”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Kita iki wes terlalu jauh Mbok”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Si Mbok iki terlalu memanjakannya”
            Iku lo Wak perkututnya cepat dikasih makan, nanti Tuan marah.” Percakapan Mbok Jah dan Wak Bejo hampir selalu tak berujung. Mbok Jah memang terlalu sabar menuruti semua keinginan Tuan, lebih tepatnya Mbok Jah terlalu menyayangi Tuan. Ada ketakutan setiap kali Mbok Jah ingin menolak keinginan Tuan. Sedangkan Wak Bejo dengan sikapnya yang tegas, akan marah ketika Tuan menyuruhnya dengan kasar. Pernah suatu ketika, Tuan memarahi Wak Bejo karena dianggap tidak becus merawat burung perkutut kesayangannya. Padahal sehari sebelumnya, Tuan memberi makan burung perkututnya dengan makanan baru yang katanya lebih mahal agar perkututnya berkicau merdu. Setelah itu, perkutut kesayangan Tuan sakit, badannya ringkuk tidak bergerak. Tuan dengan segala alasan dan makian menyalahkan Wak Bejo. Wak Bejo pun marah karena sebelumnya ia sudah mengingatkan bahwa Kliwon hanya suka makan beras ketan ireng, Tuan tidak menghiraukan, malah menganggap Wak Bejo sok tau.
            “Kliwon itu sudah aku pelihara bertahun-tahun, tahu apa Wak Bejo tentang Kliwon??! Wak Bejo di sini baru setahun. Jangan sok menasehati apa yang harus saya lakukan dan tidak.” Kurang lebih begitulah pertengkaran Tuan dan Wak Bejo karena burung perkutut, Si Kiwon.
            “Wak, aku iki khawatir karo Tuan”
            “Khawatir kenapa lagi Mbok?”
            “Umur Tuan iku wes ora muda, tapi kok durung nikah Wak?”
            “Mbok tidak usah ikut campur, apa Mbok ingat waktu Wak tanya mengapa rumah ini sepi, tidak ada anak maupun istri”
            “Iya, Mbok ingat betul Wak,” sambil Mbok mengingat-ngingat kejadian waktu Tuan tiba-tiba marah karena pertanyaan Wak. Mbok ingat benar betapa garang tatapan Tuan saat itu, seperti hendak menerkam tubuh Wak yang sudah ringsut. Setelah itu, baik Mbok Jah maupun Wak Bejo tidak pernah lagi menyinggung masalah istri. Meskipun sudah lama Mbok Jah dan Wak Bejo mengenal Tuan, terkadang mereka seperti baru mengenal sosok Tuan. Bekerja mati-matian sejak pagi hingga larut malam, seperti Tuan ingin membahagiakan seseorang dengan kemapanan yang ia raih sekarang.
            “Mbok, bersihkan buku-buku di perpustakaan saya, jangan sampai ada buku yang rusak.” Jelas terlihat kelelahan telah menghinggapi badan Mbok yang sudah tua, tetapi tidak ada perasaan lelah bagi Mbok ketika melakukan apa yang disuruh Tuan. Mbok melakukan semua itu dengan ikhlas. Satu per satu Mbok membersihkan buku-buku dalam rak dan menatanya dengan rapi. Tangan Mbok Jah tiba-tiba terarah pada buku tua yang bagian bawahnya sudah tidak utuh lagi dimakan rayap. Buku itu setua umur Mbok Jah. Warnanya telah memudar, seperti wajah Mbok Jah yang sudah tidak cantik lagi. Mbok membuka buku itu, penasaran mengapa Tuan menyimpan buku yang usianya jauh diatasnya. Dalam buku itu terselip sebuah surat berwarna abu-abu. Surat untuk Fatimah.

Untuk Fatimah,
                  Aku tidak sepandai arsitektur yang mampu mendesain gedung tua menjadi begitu megahnya. Aku pun tidak semahir penyair yang bisa mengolah kata-kata dengan indahnya. Aku hanya mampu menulis surat sederhana ini untuk mengatakan apa yang aku rasakan terhadapmu Fatimah. Jangan tertawa dan jangan marah ketika aku mulai menuliskan semua perasaanku.
                  Setiap pagi aku melihatmu menjemur pakaian di belakang rumah, aku selalu membayangkan akulah yang menjadi pakaian-pakaian itu, yang setiap pagi kamu jemur. Aku rela terbakar panasnya matahari demi selalu bersamamu Fatimah. Setelah itu, kamu selalu pergi ke pasar dengan menjinjing keranjang merah. Pulangnya keranjang itu telah penuh berisi sayuran dan ikan. Ingin sekali rasanya aku menjadi keranjang itu yang selalu menyentuh tanganmu Fatimah.
                        Lama aku pendam rasa ini. Rasa yang entah apa kamu juga merasakannya? Sepenuhnya aku serahkan padamu untuk menjawabnya Fatimah.

            Mbok Jah menangis membaca surat itu, tangannya gemetar seolah merasakan kegalauan dan ketakutan yang dirasakan Tuan ketika menulis surat itu beberapa tahun yang lalu. Mbok menceritakan apa yang ditemukannya siang itu kepada Wak Bejo. Sekarang mereka tahu alasan mengapa sampai sekarang Tuan belum menikah. Karena Tuan mencintai Fatimah. Tuan memendam perasaannya selama bertahun-tahun. Jelas ada ketakutan dihati Tuan untuk mengungkapkan perasaanya kepada Fatimah, terbukti sampai sekarang surat itu belum tersampaikan. Mbok Jah masih saja menangis. Ia membayangkan bagaimana perasaan Tuan jika mengetahui sekarang Fatimah telah menjanda.
            “Mengapa semua ini menimpa Tuan Wak? Opo salahku Wak?”
            “Mbok, iki kuwi wes ono seng ngatur” Mbok Jah menatap sendu Wak Bejo ditengah heningnya rumah Tuan yang mewah. Rumah berlantai 2 yang dipenuhi barang-barang mahal itu, terasa bagai gubuk reot yang diterpa gerimis dingin bagi Mbok Jah dan Wak Bejo malam itu.
Sikap Tuan yang kasar dan ucapannya yang tidak sopan sering membuat Wak Bejo berniat mengajak Mbok Jah pulang ke desa. Tetapi Mbok Jah selalu mengatakan bahwa selama Tuan masih belum menikah, Tuan masih menjadi tanggung jawabnya.
                                                            ╬╬╬
            “Uwak mau membelikan aku burung perkutut ya…”
            “Tapi kamu harus janji dulu, jangan nakal”
            “Iya. Kalau aku sudah besar nanti akan membahagiakan Uwak dan Mbok.” Matahari belum terang terlihat oleh mata, seorang anak dan Uwaknya sudah mengawali hari mereka dengan kasih sayang.
            “Ayo makan dulu……nasi jagung dan teri pepes sudah matang, kalian tidak akan bisa membeli perkutut dengan perut keroncongan” Pagi itu terasa hangat ditengah kebahagian sebuah keluarga yang sederhana. Kampung yang permai dengan rumah yang damai dikelilingi sawah dan pepohonan. Sayup-sayup angin menyelinap jendela rumah, sesekali melihat kelucuan seorang anak kecil yang memakai dasi, bercita ingin memakainya kalau sudah dewasa. Gurauan Uwak dan Mbok menggodanya menambah kelucuan anak laki-laki itu. Anak itu seolah tidak sabar menjadi dewasa.
            Sekarang setiap pagi sudah terdengar nyanyian merdu Sang perkutut. Mbok sering marah jika Uwak dan anak kecil itu seharian memandangi perkutut sampai lupa segala.
            “Uwak iku jangan mengajarkan anak menjadi malas.” Kemarahan Mbok meledak ketika Uwak mengulur-ngulur waktu ke sawah demi perkutut. “Mau makan apa kita Wak kalau Uwak tidak ke sawah. Kita semua akan kelaparan, begitu juga perkutut kesayanganmu itu.” Membayangkan perkututnya akan mati kelaparan, Uwak baru dengan sigap mengambil cangkul dan beranjak menuju sawah.
            “Malam ini aku tidur lagi dengan Uwak ya….” Longlongan anjing malam menjadi saksi betapa dekatnya hubungan Uwak dan ponakannya. Tubuh kecil itu menyusup ke dalam sarung hitam kelabu Uwak yang sudah tidak wangi lagi karena telah melewati malam-malam sebelumnya. Tetapi, anak kecil itu seperti tidak menghiraukan bau sarung itu, yang ia rasakan sarung Uwak membuatnya nyaman, hangat, dan melelapkan kantuknya. Kedekatan Uwak dan anak kecil itu seolah mengalahkan hubungan darah seorang bapak dan anaknya. Memang semenjak Sang anak hidup tanpa sosok bapak, Uwaklah yang mengajarkannya berbagai pelajaran hidup. Anak kecil itu mewarisi darah Uwaknya. Ada satu peristiwa yang menyadarkan Uwak bahwa darahnya telah mengalir pada anak kecil itu. Ketika suatu pagi, Uwak hendak pergi ke sawah, ia kebingungan mencari sepatu boot yang selalu dipakainya ketika pergi ke sawah, susah payah ia mencari ke berbagai sudut rumah. Kemudian Uwak melihat anak kecil itu dengan kaki yang kecil memakai sepatu boot Uwak sambil berkata kepada teman-temannya “Ini sepatu boot Uwakku, Uwakku sangat gagah jika memakainya. Aku ingin seperti Uwak.” Setiap pagi, Uwak tidak akan pergi ke sawah sebelum menghirup aroma kopi tumbuk kesukaannya, gaya minum kopi Uwak dengan membalik gelas di atas dan meminum kopi dari mangkirnya, membuat anak kecil itu sering diam-diam meminum kopi Uwak yang masih panas di meja dan menirukan cara Uwak meminumnya.
            Kehadiran anak kecil itu menyempurnakan hari-hari Uwak dan Mbok. Mbok lebih sering marah dengan semua tingkah anak kecil itu, sedangkan Uwak selalu tertawa lebar jika melihat anak kecil itu bertingkah dengan keluguannya. Tidak jarang Mbok memukul anak kecil itu dengan sapu. Pernah suatu hari, Mbok melihat baju-baju di jemuran berserakan di tanah. Mbok langsung mencari anak kecil itu sambil membawa sapu dan bersiap memukulnya. Anak kecil itu berlari mencari Uwaknya, berteriak-teriak dan akhirnya bersembunyi di balik badan Uwak. Uwak hanya tersenyum. Anak kecil itu sering mengadu kepada Uwak, bahwa ia terkadang benci dengan Mbok. “Aku tidak sayang dengan Mbok karena Mbok juga tidak  sayang dengan aku”. Uwak hanya tersenyum mendengarnya.
            Ketika benar-benar anak kecil itu marah kepada Mbok, ia sering menyelinap masuk ke kamar Mbok, hanya satu tujuannya, mengambil bunga melati yang ada di bawah bantal Mbok. Anak kecil itu tahu bahwa Mbok sangat menyukai melati. Mbok selalu menaruh melati di bawah bantalnya. Jika telah layu, Mbok mengganti dengan melati yang masih segar. Mbok telah melakukannya selama delapan tahun. Itu Mbok lakukan sebagai bentuk kerinduannya kepada Sang suami. Suami Mbok setiap malam menjelang tidur selalu memberikan segenggam melati dan berkata “Mbok, jadilah wanita seharum melati” Tapi semua alasan itu, terlalu jauh untuk dapat dipahami anak kecil itu. Ketika anak kecil itu merasakan kedekatan dan kasih sayang Mbok, anak kecil itu menaruh banyak melati segar di bawah bantal Mbok sampai berserakan di kasur, ia memetik melati yang tumbuh subur di belakang rumah. Teringat kejadian, ketika anak kecil itu hendak mengungkapkan rasa sayangnya kepada Mbok, karena Mbok membelikannya sepatu boot, tapi anak kecil itu tidak menemui satupun melati yang mekar. Akhirnya anak kecil itu menggantinya dengan bunga sedap malam. Mbok langsung bertanya kepada anak kecil itu mengapa ia lakukan itu. Dengan polos ia menjawab “Aku hanya ingin memberikan hadiah kepada Mbok, seperti Mbok membelikaku sepatu boot. Bunga melati di belakang rumah habis, jadi aku mencari bunga yang warnanya sama.” Mbok tersenyum, mata Mbok berair. Mbok sadar betapa ia menyayangi anak itu.
            Sekarang, anak kecil itu telah tumbuh menjadi lelaki dewasa. Ia telah menjadi Sarjana Pertanian. Ia telah siap mengarungi kehidupan, bekerja demi membahagiakan Uwak dan Mbok. Anak kecil yang sekarang telah berganti menjadi seorang lelaki dewasa itu pamit  pergi ke kota. Ia ingin mengadu nasibnya ke kota besar, Jakarta.
            “Uwak, Mbok, aku pamit pergi ke kota. Bekerja di sana, menjadi pengusaha yang sukses, punya rumah yang mewah, dan punya banyak pembantu untuk melayaniku. Hehe,,Doakan langkahku.” Anak lelaki dewasa itu mencium tangan Uwak dan Mbok. Kemudian melambaikan tangan dan berlalu.
                                                ╬╬╬
            “Mbok, kita iki bukan pembantu.”
            “Biarkan waktu yang memberitahukannya Wak.”
            “Aku wes ora kenal anakmu iku Mbok.”
            “Dia tetap anakku Wak. Keponakanmu.”
            “Sudah satu tahun kita hidup perpura-pura menjadi pembantu. Tingkah lagat dia yang kasar, tutur bahasanya yang tidak sopan karo wong tuo. Iku bukan ponakanku yang aku didik dulu.” Mbok menyadari apa yang diucapkan Wak Bejo memang benar. Sudah setahun ia dan Wak Bejo hidup perpura-pura menjadi pembantu demi anak kecilnya yang dulu ia cintai. Tetapi, sampai sekarang pengorbanan itu masih sia-sia. Anaknya tidak akan mengenalnya. Kecelakaan telah membuatnya lupa segalanya. Meskipun sekarang anaknya telah menjadi pengusaha sukses, mempunyai rumah yang mewah, dan tentunya Mbok dan Uwak sebagai pembantu, yang rela pergi ke kota meninggalkan rumah setelah mendengar “kebanggaannya” mengalami kecelakaan. Apalah arti itu semua, jika kini anaknya telah tiada dalam ke-ada-annya. Dengan keputusasaan, Mbok melangkah menuju kamar. Ia ingin menumpahkan segala rasanya selama ini. Ia ingat benar bagaimana dulu ia sering memukul anaknya dengan sapu ketika dia berbuat kesalahan, karena Mbok ingin mendidiknya menjadi lelaki yang bertanggungjawab dan bisa menjaga Mbok dan Uwak dalam masa tua. Mbok juga masih ingat, betapa besar usahanya membiayai anaknya hingga menjadi seorang Sarjana. Mbok berharap, agar anaknya bisa memjadi kebanggaan keluarga. Mbok menangis. Mbok merindukan anaknya. Mbok mencium wangi melati semerbak, seperti saat-saat ketika suaminya dulu memberinya segenggam melati setiap malam. Mbok merasakan suaminya berada di sisinya dan mendengar semua yang Mbok rasakan. Mbok membalik bantalnya, Mbok melihat ada melati segar di bawah bantal Mbok.





                                                                             Salam Penjaga Kampoeng,


                                                                                          Husniatin Sholihah






















                                                                                               

0 komentar:

Posting Komentar