Archive for September 2012

Skenario Merah Putih


.



Persiapan proklamasi. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro, dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
     Detik-detik proklamasi, Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln. Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Akhirnya, pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945 tahun Masehi, pukul 10:00 WIB Bung Karno yang didampingi Bung Hatta bertempat di Pegangsaan Timur 56 Jakarta pusat, atas nama bangsa Indonesia membacakan proklamsi kemerdekaan. Soekarno membaca naskah Proklamasi yang sudah diketik Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta.
           
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan
 Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., di-
selenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang se-
singkat-singkatnja
                                                        Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 45
                                                                    Atas nama bangsa Indonesia.
                                                                      Soekarno/Hatta

Kemudian berkibarlah bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, istri Ir. Soekarno. Ketika menjahit bendera pusaka Indonesia tersebut, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya yang pertama. Di karenakan kondisi fisiknya dan juga karena ukuran bendera yang besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari. Berulang kali Ibu Fatmawati menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang dijahitnya itu. Titik-titik air mata beliau yang tumpah pada bendera pusaka Indonesia, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu. Inilah bnetuk sumbangan perempuan Indonesia kepada negaranya tercinta pada masanya. Setiap hari, sejak Proklamasi Kemerdekaan, Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati tersebut selalu dikibarkan tidak hanya di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan Timur 56, tetapi juga di seluruh jiwa rakyat Indonesia sebagai bukti kemerdekaannya.
Riuh tepuk tangan penonton menggema di seluruh aula SMA Padamu Negeri. Pertunjukan yang dimainkan siswa-siswi SMA Padamu Negeri dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI itu berlangsung meriah, terbukti dengan banyaknya decak kagum diantara murid sendiri, guru, dan walid murid yang hadir. Sungguh pertunjukan dari anak bangsa yang begitu membanggakan.
“Selamat ya..acting kamu tadi membuatku bangga padamu Lan,”
“Terima kasih. Tapi acting kamu juga hebat, apalagi waktu kamu memerankan Ir.Soekarno yang sedang membaca teks proklamasi, itu membuatku merinding..hihi”
“Ah! nggak usah berlebihan gitu memujinya Lan…”
“Kamu pantas memerankan Ibu Fatmawati, meskipun Ibu Fatmawati yang sebenarnya matanya nggak sipit gitu..hahaha”
“aUCH!!” teriak Bintang sambil melihat pinggangnya yang telah memerah
Belum sempat Bintang mengejar Lan-lan yang berlari, beberapa cewek telah lebih dulu mengerubuti Bintang untuk memberi selamat atau sekadar mencari kesempatan menyentuh tangan Bintang, cowok paling populer di SMA Padamu Negeri.  Tidak lama kemudian Gank Miss Pesona dengan jalannya yang berlebihan itu mendekati Bintang, secara spontan cewek-cewek yang mendekati Bintang mundur teratur.
“Oh Bintang.., kamu cocok jadi artis”
“Iya, iya, penampilanmu di panggung tadi sungguh mempesona”
“Iya, akan lebih bagus lagi kalo tidak ada si sipit Lan-lan yang berperan jadi istrimu. Seharusnya aku yang lebih pantas kan…iya kan…”
Melihat wajah Bintang yang mengerut, sudah dapat ditebak bahwa dia sangat ingin pergi dari hadapan Miss Pesona dan anak buahnya yang sukanya menjelek-jelekkan orang lain. Gaya bicaranya yang manja dan bahasa tubuhnya yang meliuk-liuk membuat Bintang muak melihatnya. Bintang lebih suka menyebutnya cewek endel bin uendel. Nggak pernah terbayang dipikiran Bintang untuk menjadikan Miss Pesona menjadi pacarnya, meskipun berkali-kali dia mengunggapkan perasaannya bahkan memohon-mohon agar Bintang mau menjadi pacarnya. Banyak teman Bintang yang bilang bahwa hanya cowok bego yang nolak Miss Pesona, tapi bagi Bintang hanya cowok begolah yang mau menjadi pacar Miss Pesona.
“Mengapa sich hanya Bintang saja yang diberi selamat? Actingku kan juga tidak kalah menawannya…”
“Huh u hu..kamu itu hanya sebagai pemain pembantu tau!”
“Eit jangan salah, tanpa Sayuti Melik, Ir. Soekarno tidak akan bisa membaca teks proklamasi. Jadi, aku ini sangat berjasa bagi Bangsa Indonesia.”
Miss Pesona segera meninggalkan Bintang karena kedatangan Deo. Deo nampak kecewa karena actingnya dianggap remeh oleh Miss Pesona. Sebenarnya Bintng kasihan melihat ekspresi Deo yang melas, tapi jujur Bintang senang karena secara tidak langsung kedatangan Deo telah mengusir Miss Pesona yang menyebalkan itu. Sudah sejak lama Deo yang terkenal gaya bicaranya yang lebay itu menaruh hati dengan Miss Pesona. Akan tetapi, tidak sedikitpun Miss Pesona melirik Deo.
***
“Mengapa jam segini kamu baru pulang Lan?”
“Habis ikut ekstra nek”
“ekstra apa?”
“Piano nek”
“Bukannya kamu sudah mahir bermain piano?”
“Iya nek, tapi di sekolah levelnya lebih tinggi”
Bukan pertama kali Lan-lan berbohong kepada neneknya, ini ia lakukan agar neneknya tidak mengirimnya kembali ke Cina ke rumah orangtuanya di sana. Lan-lan sudah terlanjur cinta tinggal di Indonesia, apalagi semenjak mengenal Bintang. Berkali-kali neneknya mengingatkan agar ia jangan terlalu dekat bergaul dengan orang pribumi, itu sebutan nenek Lan untuk orang Indonesia asli. Entah dendam apa yang membuat nenek Lan sangat membenci orang Indonesia, padahal dalam sejarah, Indonesia tidak pernah berperang melawan Cina.
***
“Kamu tidak kapok kan bermain drama?”
“Aku sangat mencintai dunia pertunjukan, drama, teater. Aku tidak mau meninggalkan ini semua Bin.”
“Aku juga. Rasanya aku ingin selalu melakonkan karakter yang berbeda-beda ditiap pertunjukkan. Aku ingin menjadi pemain drama professional, bisa bermain sampai ke luar negeri membanggakan negeriku tercinta.”
“Auch!! Mengapa kamu selalu mencubitku…?!”
“Aku cuma ingin menguji acting kamu ko, acting kesakitan, hhaaha” Sinar matahari siang itu seakan terasa sejuk menerpa tubuh Bintang dan Lan. Hampir setiap jam istirahat mereka bertemu di belakang sekolah, bercerita ataupun sekadar bermain canda di samping gundukan batu besar yang mereka beri nama “Batu Persaudaraan” mereka mengecat batu itu dengan cat berwarna merah putih dan melukis bintang berwarna kuning di bagian atasnya, mereka mengartikan batu itu sebagai lambang persaudaraan antara dua bangsa.
***
“Eh bro, semakin hari gwe liat loe semakin akur aja sama Si sipit itu, jangan bilang loe suka ama dia ya…”
“Emang kenapa kalo aku suka ama dia, nggak ada hukumnya kan?”
“Tapi kan dia cina bro..cina”
“Yang aku tahu, meskipun dia orang cina, tapi rasa nasionalismenya lebih tinggi daripada kita yang orang Indonesia asli”
Bintang memang paling tidak suka melihat ada temannya yang membeda-bedakan suku. Beda kastalah, beda darahlah, beda prestise. Sebagai manusia, kita adalah makhluk yang berbudaya. Kita tinggal dinegara yang mempunyai beragam suku, adat istiadat, dan itu bukanlah pembeda, justru sebagai penguat tali persaudaraan lewat keberagaman dari perbedaan tersebut. Tidak sewajarnya kita memberi garis pemisah diantara berbagai budaya, termasuk budaya luar.
Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia belum berakhir, SMA Padamu Negeri 2 Jakarta telah menyiapkan serangkaian lomba untuk memperingati hari kemerdekaan yang tiap tahun ditunggu-tunggu seluruh penduduk Indonesia. Bintang sebagai ketua panitia mulai menggalang dana dari iuaran siswa beberapa bulan sebelumnya. Lomba yang disiapkan mulai dari lomba panjat pinang, balap bakiak, makan kerupuk, balap karung, perang bantal, dan pecah balon. Dan untuk guru-guru, tidak lupa panitia menyiapkan lomba tarik tambang.
“Kamu jadi ikut lomba makan krupuk kan Lan?”
“Hm..aku ragu Bin, apa teman-teman tidak akan menertawankanku, ‘Hei ada Si sipit makan krupuk…”
“Aku pasti akan bangga kalau kamu mau ikut lomba besok pagi. Yang aku tahu, tidak ada peraturan hanya orang Indonesia saja yang boleh ikut lomba 17 agustus. Indonesia telah merdeka dan kebahagiannya boleh di rasakan siapa saja, tidak hanya rakyat Indonesia.”
***
Bintang tidak menyangka bahwa obloannya dengan Lan-lan di gundukan taman belakang sekolah waktu itu adalah akhir dari pertemuan mereka. Lan-lan tidak lagi ada di bangku kelasnya, setiap hari Bintang memandangi kursi yang biasa di duduki Lan-lan. Ya bangku paling belakang. Semua teman sekelas terlihat senang dengan ketidakhadiran Lan-lan, kecuali Bintang. Terlihat jelas bahwa ia sedang memikirkan gadis sipit yang sering lewat dalam mimpinya itu. Seminggu kemudian, baru Bintang tahu kalau Lan-lan telah diboyong neneknya ke Cina karena neneknya mengetahui bahwa Lan-lan sering membohongi neneknya. Lan-lan memang sering bercerita mengenai neneknya yang begitu benci dengan orang Indonesia. Karena itulah setiap kali Bintang ingin ke rumah Lan-lan, dia selalu melarang dan lebih suka bertemu di sekolah. Sebenarnya Bintang menyayangkan kepergian Lan-lan yang mendadak, tanpa pamit. Tapi Bintang mencoba mengerti kondisi Lan-lan saat itu. Wajar Lan langsung menyetujui di boyong neneknya ke Cina, karena yang Bintang tahu bahwa Lan adalah gadis yang baik, tidak mungkin mengecewakan neneknya yang selama ini telah merawatnya karena kesibukan orangtuanya.
“Guwe turut berduka cita bro atas kepergian Si sipit”
“Emangnya Lan-lan meninggal apa, huu dasar!” Bintang memukul kepala Deo yang sore itu tiba-tiba udah nangkrik di ruang tamu rumah Bintang. Deo memang sahabat karib Bintang. Deo satu-satunya teman yang sering bermain di rumah Bintang, bahkan terkadang menginap beberapa hari. Jika di tanya kenapa senang sekali di rumah Bintang, apa nggak di cari orangtua??. Dia selalu menjawab ”gue kan sayang ama elu Bin, elu sahabat terbaik gue” Deo selalu mengucapkannnya dengan memasang wajah super cute. Itu sich hanya tipu muslihat saja. Bintang juga tahu kalau sahabatnya itu sering main ke rumahnya karena banyaknya makanan yang tersedia di rumah Bintang. “Mama lue jago masak ya bro, beda ama nyokab guwe” itu juga yang sering diucapkan Deo sembari menyantap habis makanan di kulkas, padahal udah jelas makanan yang ia makan itu di beli dari Supermarket. Dasar Deo tukang makan! .
“Kali ini guwe ke rumah lue membawa wasiat bro” Bintang tidak menghiraukan ocehan temannya itu. Pasti cuma akal-akalan Deo saja, seperti biasa, batin Bintang. Tapi Bintang kaget ketika Deo mengulurkan sebuah amplop putih dengan hiasan pita merah putih. “Nih buwat loe” Bintang membuka surat itu, begitu terkejutnya dia ketika ia membaca inisial pengirimnya. Ya, gadis sipit yang mengusik tidurnya di hampir setiap malam, Lan-lan. “Maaf bro, guwe baru ngasih surat ini sebulan setelah kepergian Lan, karena ini permintaannya” Ada degup jantung yang terpacu begitu cepat, Bintang tidak menyadari bahwa degupan itu berasal dari jantungnya. Bintang mencoba menarik nafas, berusaha menenangkan perasaannya yang galau.
Minggu melewati bulan dan bulan bergulir menjadi tahun. Kini, Bintang telah menjadi seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Jakarta. Setelah Bintang melewati hari-hari semenjak kepergian Lan empat tahun silam, dia tumbuh menjadi lelaki dewasa yang berprinsip. Di semester awal kuliah, Bintang aktif dalam organisasi kemahasiswaan dan giat mengikuti kegiatan di luar kampus, terutama yang menyangkut seni pertunjukkan.
“Bro, ada tawaran manggung buat loe, aku yakin loe pasti nggak akan nolak” Malam itu entah ada angin apa Bintang belum juga memejamkan mata, padahal biasanya lewat jam 23.00 dia sudah terlelap di kasur empuknya. Deo tiba-tiba menelephonnya. Sudah beberapa bulan kawannya yang aneh itu tidak menghubunginya, karena sekarang mereka tinggal di kota yang berbeda. Deo menetap di Yogya dan melanjutkan kuliah di sana. “Memang manggung di mana sich kok loe heboh amat. Penyakitmu dari dulu nggak sembuh-sembuh” Deo seolah tersetrum kabel berkekuatan 500 watt ketika mendengar kata “Guang Zhuo” Yups Cina! Tanpa pikir panjang Bintang langsung menyetujui tawaran Deo untuk ikut dalam pertunjukkan teater yang akan dipentaskan di Cina itu. Seolah ada bisikan yang mengatakan bahwa Bintang harus ikut.
Beberapa hari menjalani latihan teater di basecamp, Bintang semakin resah menyambut hari keberangkatannya ke Cina, antara takut dan senang. Bintang yang tergabung dalam regu “Sandyakala” berlatih teater mati-matian, ini akan menjadi pertunjukan terhebat, membawa nama bangsa ke negeri orang. Seolah pertunjukkan ini sebuah perang yang mempertaruhkan nama bangsa. Hari yang ditunggu regu “Sandyakala” akhirnya tiba. Perjalanan ke Cina sekitar ….Setelah melepas lelah, malam harinya semua tim panitia dari cina mempersiapkan segala keperluan teater. Seluruh anggota “Sandyakala” berdoa memohon kelancaran pertunjukan. “Sekarang kita sambut perwakilan dari Indonesia ‘Sandyakala’ yang akan membawakan teater berjudul ‘Skenario Merah Putih’ “. Satu persatu pemain melakonkan setiap adegan, dialog, dan babak dalam teater yang mereka mainkan. Sesaat kemudian bendera kebangsaan Merah Putih dikibarkan. Bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kalinya di tengah bumi Cina. Warna Merah menyala merupakan lambang keberanian, sedangkan warna putih merupakan lambang kesucian. Secarik kain yang berwarna merah putih tersebut telah  menjadi bendera pusaka bangsa Indonesia. Dan itulah akhir cerita yang diiringi ribuan tepuk tangan dari seluruh penjuru negara yang memenuhi gedung pertunjukan di Cina.
            “Ada wartawan dari Cina yang ingin mewawancarai anda, katanya dia sangat tertarik dengan pertunjukan dari Indonesia, sekarang wartawan itu menunggu anda di lobi”
          “Maaf, bolehkan saya mewawancarai anda seben….” Wartawan itu tidak melanjutkan ucapannya. Dan Bintang yang baru saja ingin duduk, juga menghentikan gerakannya. Tatapan itu, tatapan yang telah lama hilang, seakan telah kembali tertangkap pupil matanya. Bintang ragu apakah benar ia mengenalnya karena banyak sepasang mata sipit di Cina. “Bintang” Ya sekarang Bintang yakin bahwa ia mengenal gadis dihadapannya itu. Ia telah menjelma bagai angsa yang cantik dengan bulu yang indah membalut seluruh tubuhnya. “Lan-lan” Ternyata selama ini Tuhan tidak memisahkan mereka, Tuhan hanya mengatur jarak diantara mereka. Bintang dan Lan duduk di lobi, sejenak mereka membisu, mungkin mereka bingung harus memulai obrolan dari mana setelah empat tahun terpisah. ”Batu Persaudaraan..” Bintang dan Lan bersamaan mengucapkan kalimat yang sama, mereka saling melempar senyum.
            “Bagaimana kabar nenek kamu…apakah masih hidup??”
            aUchh!! Masih seperti empat tahun yang lalu, Si sipit Lan-lan selalu mencubit pinggang Bintang setiap kali Bintang bertingkah. Dan Bintang dengan ekspresi wajahnya yang aneh melihat pinggangnya memerah.
“Besok aku tunggu di belakang gedung pertunjukan ya..” Lan-lan masih juga belum berubah, batin Bintang. Gadis itu selalu lari setelah mencubit pinggangnya. Padahal tadi katanya ingin wawancara. Hm dasar gadis aneh.
Bintang tidak sabar menunggu hari esok. Pagi-pagi sekali ia bangun dan berdandan sangat rapi, tidak lupa melewatkan parfum favoritnya. Ini akan menjadi hari paling membahagiakan bagi Bintang. Bintang berharap ia lah yang datang terlebih dahulu sebelum Lan. Tapi ia salah, Lan telah menunggunya 15 menit.
“Kamu ingin mengajakku kemana?”
“Ayo ikut saja” Lan mengandeng tangan Bintang berlari melewati jalan-jalan sempit, tikungan, melintas jalan raya, hampir saja Bintang terserempet mobil dari arah yang berlawanan. Tapi Lan masih saja tidak menghentikan jalannya, bahkan lebih kencang lagi Lan berlari sambil terus mengandeng tangan Bintang. Akhirnya Lan menghentikan langkahnya di sebuah taman.
“Lihatlah apa yang aku temukan di sini” Lan menunjukkan kepada Bintang sebuah batu besar, mirip gundukan tanah.
“Ini kan hanya sebuah batu, tidak ada istimewanya??”
“Tidak lagi setelah kita berubahnya” Lan mengeluarkan cat dari balik pohon yang ada di sebelah batu itu.
“Ayo kita mengecatnya, menjadi ‘Batu Persaudaraan’ “Bintang nampak bingung dengan tingkahnya, ia mengoyak rambut Lan sebagai isyarat bahagianya.
“Kamu tidak ingin tahu kenapa nenekku begitu benci dengan orang Indonesia??”
“Sebenarnya sejak dulu aku ingin menanyakan hal itu, tapi aku takut kamu mencubit pinggangku lagi, hehe” Sambil terus mengecat, Lan menceritakan alasan mengapa neneknya dendam setengah mati dengan orang Indonesia. Neneknya pernah dikecewakan lelaki dari Indonesia. Ketika neneknya masih muda, ia mencintai pemuda Indonesia, mereka kemudian menikah, belum sampai mereka mempunyai anak, suaminya meninggalkannya dengan alasan tidak kuat kalau harus membangun rumahtangga di tengah ketidaksetujuan mertuanya, yaitu buyutku. Makanya, nenekku sangat membenci orang Indonesia. Katanya pemuda Indonesia tidak pandai melewati rintangan hidup.
“Tapi kan nggak semua pemuda Indonesia seperti itu, contohnya aku” Belum sempat Lan mencubit pinggang Bintang, Bintang telah hilang dari samping Lan, Bintang lari duluan.
“Weks…ayo cubit aku kalau bisa…..” Siang itu menjadi saksi perjumpaan anak manusia dari dua bangsa yang telah lama terpisah. “Batu Persaudaraan” yang mereka ukir di bumi Cina akankah berubah menjadi “Batu Percintaan”. Entahlah, yang jelas hanya mereka yang tahu.

Melati di bawah bantal Mbok


.

(Sebelum membaca cerpen ini, atur posisi duduk anda!)    
      
            Semilir lembayung fajar menerpa wajah keriput wanita yang setiap hari dihinggapi rasa pedih itu. Entah seberapa jauh pikirannnya menjelah masalah yang setahun lalu menimpanya. Hanya tatapan sayup yang terpancar semenjak kejadian itu.
            “Mbok iki ingin meracuni saya?!! Masakan kok hambar”. Tidak ada sahutan dari wanita yang sudah tidak muda lagi itu, tapi jelas terlihat ada kepedihan di wajahnya.
            “Nanti jangan lupa burung perkutut saya diberi makan, bilang pada Wak Bejo!”
            Injeh Tuan,” satu kata singkat itu yang mewakili kepasrahan Mbok Jah selama setahun ini. Apapun yang disuruh dan diminta Tuan, Mbok Jah tidak pernah sekalipun berkata tidak, meski itu menyakiti Mbok Jah. Sering Wak Bejo, Kakak tertua Mbok Jah  yang hidup bersama Mbok Jah setelah bercerai dengan istrinya, memarahi Mbok Jah agar jangan selalu menurut apa saja yang disuruh Tuan.
            “Mbok iku jangan mau dibentak-bentak”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Kita iki wes terlalu jauh Mbok”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Si Mbok iki terlalu memanjakannya”
            Iku lo Wak perkututnya cepat dikasih makan, nanti Tuan marah.” Percakapan Mbok Jah dan Wak Bejo hampir selalu tak berujung. Mbok Jah memang terlalu sabar menuruti semua keinginan Tuan, lebih tepatnya Mbok Jah terlalu menyayangi Tuan. Ada ketakutan setiap kali Mbok Jah ingin menolak keinginan Tuan. Sedangkan Wak Bejo dengan sikapnya yang tegas, akan marah ketika Tuan menyuruhnya dengan kasar. Pernah suatu ketika, Tuan memarahi Wak Bejo karena dianggap tidak becus merawat burung perkutut kesayangannya. Padahal sehari sebelumnya, Tuan memberi makan burung perkututnya dengan makanan baru yang katanya lebih mahal agar perkututnya berkicau merdu. Setelah itu, perkutut kesayangan Tuan sakit, badannya ringkuk tidak bergerak. Tuan dengan segala alasan dan makian menyalahkan Wak Bejo. Wak Bejo pun marah karena sebelumnya ia sudah mengingatkan bahwa Kliwon hanya suka makan beras ketan ireng, Tuan tidak menghiraukan, malah menganggap Wak Bejo sok tau.
            “Kliwon itu sudah aku pelihara bertahun-tahun, tahu apa Wak Bejo tentang Kliwon??! Wak Bejo di sini baru setahun. Jangan sok menasehati apa yang harus saya lakukan dan tidak.” Kurang lebih begitulah pertengkaran Tuan dan Wak Bejo karena burung perkutut, Si Kiwon.
            “Wak, aku iki khawatir karo Tuan”
            “Khawatir kenapa lagi Mbok?”
            “Umur Tuan iku wes ora muda, tapi kok durung nikah Wak?”
            “Mbok tidak usah ikut campur, apa Mbok ingat waktu Wak tanya mengapa rumah ini sepi, tidak ada anak maupun istri”
            “Iya, Mbok ingat betul Wak,” sambil Mbok mengingat-ngingat kejadian waktu Tuan tiba-tiba marah karena pertanyaan Wak. Mbok ingat benar betapa garang tatapan Tuan saat itu, seperti hendak menerkam tubuh Wak yang sudah ringsut. Setelah itu, baik Mbok Jah maupun Wak Bejo tidak pernah lagi menyinggung masalah istri. Meskipun sudah lama Mbok Jah dan Wak Bejo mengenal Tuan, terkadang mereka seperti baru mengenal sosok Tuan. Bekerja mati-matian sejak pagi hingga larut malam, seperti Tuan ingin membahagiakan seseorang dengan kemapanan yang ia raih sekarang.
            “Mbok, bersihkan buku-buku di perpustakaan saya, jangan sampai ada buku yang rusak.” Jelas terlihat kelelahan telah menghinggapi badan Mbok yang sudah tua, tetapi tidak ada perasaan lelah bagi Mbok ketika melakukan apa yang disuruh Tuan. Mbok melakukan semua itu dengan ikhlas. Satu per satu Mbok membersihkan buku-buku dalam rak dan menatanya dengan rapi. Tangan Mbok Jah tiba-tiba terarah pada buku tua yang bagian bawahnya sudah tidak utuh lagi dimakan rayap. Buku itu setua umur Mbok Jah. Warnanya telah memudar, seperti wajah Mbok Jah yang sudah tidak cantik lagi. Mbok membuka buku itu, penasaran mengapa Tuan menyimpan buku yang usianya jauh diatasnya. Dalam buku itu terselip sebuah surat berwarna abu-abu. Surat untuk Fatimah.

Untuk Fatimah,
                  Aku tidak sepandai arsitektur yang mampu mendesain gedung tua menjadi begitu megahnya. Aku pun tidak semahir penyair yang bisa mengolah kata-kata dengan indahnya. Aku hanya mampu menulis surat sederhana ini untuk mengatakan apa yang aku rasakan terhadapmu Fatimah. Jangan tertawa dan jangan marah ketika aku mulai menuliskan semua perasaanku.
                  Setiap pagi aku melihatmu menjemur pakaian di belakang rumah, aku selalu membayangkan akulah yang menjadi pakaian-pakaian itu, yang setiap pagi kamu jemur. Aku rela terbakar panasnya matahari demi selalu bersamamu Fatimah. Setelah itu, kamu selalu pergi ke pasar dengan menjinjing keranjang merah. Pulangnya keranjang itu telah penuh berisi sayuran dan ikan. Ingin sekali rasanya aku menjadi keranjang itu yang selalu menyentuh tanganmu Fatimah.
                        Lama aku pendam rasa ini. Rasa yang entah apa kamu juga merasakannya? Sepenuhnya aku serahkan padamu untuk menjawabnya Fatimah.

            Mbok Jah menangis membaca surat itu, tangannya gemetar seolah merasakan kegalauan dan ketakutan yang dirasakan Tuan ketika menulis surat itu beberapa tahun yang lalu. Mbok menceritakan apa yang ditemukannya siang itu kepada Wak Bejo. Sekarang mereka tahu alasan mengapa sampai sekarang Tuan belum menikah. Karena Tuan mencintai Fatimah. Tuan memendam perasaannya selama bertahun-tahun. Jelas ada ketakutan dihati Tuan untuk mengungkapkan perasaanya kepada Fatimah, terbukti sampai sekarang surat itu belum tersampaikan. Mbok Jah masih saja menangis. Ia membayangkan bagaimana perasaan Tuan jika mengetahui sekarang Fatimah telah menjanda.
            “Mengapa semua ini menimpa Tuan Wak? Opo salahku Wak?”
            “Mbok, iki kuwi wes ono seng ngatur” Mbok Jah menatap sendu Wak Bejo ditengah heningnya rumah Tuan yang mewah. Rumah berlantai 2 yang dipenuhi barang-barang mahal itu, terasa bagai gubuk reot yang diterpa gerimis dingin bagi Mbok Jah dan Wak Bejo malam itu.
Sikap Tuan yang kasar dan ucapannya yang tidak sopan sering membuat Wak Bejo berniat mengajak Mbok Jah pulang ke desa. Tetapi Mbok Jah selalu mengatakan bahwa selama Tuan masih belum menikah, Tuan masih menjadi tanggung jawabnya.
                                                            ╬╬╬
            “Uwak mau membelikan aku burung perkutut ya…”
            “Tapi kamu harus janji dulu, jangan nakal”
            “Iya. Kalau aku sudah besar nanti akan membahagiakan Uwak dan Mbok.” Matahari belum terang terlihat oleh mata, seorang anak dan Uwaknya sudah mengawali hari mereka dengan kasih sayang.
            “Ayo makan dulu……nasi jagung dan teri pepes sudah matang, kalian tidak akan bisa membeli perkutut dengan perut keroncongan” Pagi itu terasa hangat ditengah kebahagian sebuah keluarga yang sederhana. Kampung yang permai dengan rumah yang damai dikelilingi sawah dan pepohonan. Sayup-sayup angin menyelinap jendela rumah, sesekali melihat kelucuan seorang anak kecil yang memakai dasi, bercita ingin memakainya kalau sudah dewasa. Gurauan Uwak dan Mbok menggodanya menambah kelucuan anak laki-laki itu. Anak itu seolah tidak sabar menjadi dewasa.
            Sekarang setiap pagi sudah terdengar nyanyian merdu Sang perkutut. Mbok sering marah jika Uwak dan anak kecil itu seharian memandangi perkutut sampai lupa segala.
            “Uwak iku jangan mengajarkan anak menjadi malas.” Kemarahan Mbok meledak ketika Uwak mengulur-ngulur waktu ke sawah demi perkutut. “Mau makan apa kita Wak kalau Uwak tidak ke sawah. Kita semua akan kelaparan, begitu juga perkutut kesayanganmu itu.” Membayangkan perkututnya akan mati kelaparan, Uwak baru dengan sigap mengambil cangkul dan beranjak menuju sawah.
            “Malam ini aku tidur lagi dengan Uwak ya….” Longlongan anjing malam menjadi saksi betapa dekatnya hubungan Uwak dan ponakannya. Tubuh kecil itu menyusup ke dalam sarung hitam kelabu Uwak yang sudah tidak wangi lagi karena telah melewati malam-malam sebelumnya. Tetapi, anak kecil itu seperti tidak menghiraukan bau sarung itu, yang ia rasakan sarung Uwak membuatnya nyaman, hangat, dan melelapkan kantuknya. Kedekatan Uwak dan anak kecil itu seolah mengalahkan hubungan darah seorang bapak dan anaknya. Memang semenjak Sang anak hidup tanpa sosok bapak, Uwaklah yang mengajarkannya berbagai pelajaran hidup. Anak kecil itu mewarisi darah Uwaknya. Ada satu peristiwa yang menyadarkan Uwak bahwa darahnya telah mengalir pada anak kecil itu. Ketika suatu pagi, Uwak hendak pergi ke sawah, ia kebingungan mencari sepatu boot yang selalu dipakainya ketika pergi ke sawah, susah payah ia mencari ke berbagai sudut rumah. Kemudian Uwak melihat anak kecil itu dengan kaki yang kecil memakai sepatu boot Uwak sambil berkata kepada teman-temannya “Ini sepatu boot Uwakku, Uwakku sangat gagah jika memakainya. Aku ingin seperti Uwak.” Setiap pagi, Uwak tidak akan pergi ke sawah sebelum menghirup aroma kopi tumbuk kesukaannya, gaya minum kopi Uwak dengan membalik gelas di atas dan meminum kopi dari mangkirnya, membuat anak kecil itu sering diam-diam meminum kopi Uwak yang masih panas di meja dan menirukan cara Uwak meminumnya.
            Kehadiran anak kecil itu menyempurnakan hari-hari Uwak dan Mbok. Mbok lebih sering marah dengan semua tingkah anak kecil itu, sedangkan Uwak selalu tertawa lebar jika melihat anak kecil itu bertingkah dengan keluguannya. Tidak jarang Mbok memukul anak kecil itu dengan sapu. Pernah suatu hari, Mbok melihat baju-baju di jemuran berserakan di tanah. Mbok langsung mencari anak kecil itu sambil membawa sapu dan bersiap memukulnya. Anak kecil itu berlari mencari Uwaknya, berteriak-teriak dan akhirnya bersembunyi di balik badan Uwak. Uwak hanya tersenyum. Anak kecil itu sering mengadu kepada Uwak, bahwa ia terkadang benci dengan Mbok. “Aku tidak sayang dengan Mbok karena Mbok juga tidak  sayang dengan aku”. Uwak hanya tersenyum mendengarnya.
            Ketika benar-benar anak kecil itu marah kepada Mbok, ia sering menyelinap masuk ke kamar Mbok, hanya satu tujuannya, mengambil bunga melati yang ada di bawah bantal Mbok. Anak kecil itu tahu bahwa Mbok sangat menyukai melati. Mbok selalu menaruh melati di bawah bantalnya. Jika telah layu, Mbok mengganti dengan melati yang masih segar. Mbok telah melakukannya selama delapan tahun. Itu Mbok lakukan sebagai bentuk kerinduannya kepada Sang suami. Suami Mbok setiap malam menjelang tidur selalu memberikan segenggam melati dan berkata “Mbok, jadilah wanita seharum melati” Tapi semua alasan itu, terlalu jauh untuk dapat dipahami anak kecil itu. Ketika anak kecil itu merasakan kedekatan dan kasih sayang Mbok, anak kecil itu menaruh banyak melati segar di bawah bantal Mbok sampai berserakan di kasur, ia memetik melati yang tumbuh subur di belakang rumah. Teringat kejadian, ketika anak kecil itu hendak mengungkapkan rasa sayangnya kepada Mbok, karena Mbok membelikannya sepatu boot, tapi anak kecil itu tidak menemui satupun melati yang mekar. Akhirnya anak kecil itu menggantinya dengan bunga sedap malam. Mbok langsung bertanya kepada anak kecil itu mengapa ia lakukan itu. Dengan polos ia menjawab “Aku hanya ingin memberikan hadiah kepada Mbok, seperti Mbok membelikaku sepatu boot. Bunga melati di belakang rumah habis, jadi aku mencari bunga yang warnanya sama.” Mbok tersenyum, mata Mbok berair. Mbok sadar betapa ia menyayangi anak itu.
            Sekarang, anak kecil itu telah tumbuh menjadi lelaki dewasa. Ia telah menjadi Sarjana Pertanian. Ia telah siap mengarungi kehidupan, bekerja demi membahagiakan Uwak dan Mbok. Anak kecil yang sekarang telah berganti menjadi seorang lelaki dewasa itu pamit  pergi ke kota. Ia ingin mengadu nasibnya ke kota besar, Jakarta.
            “Uwak, Mbok, aku pamit pergi ke kota. Bekerja di sana, menjadi pengusaha yang sukses, punya rumah yang mewah, dan punya banyak pembantu untuk melayaniku. Hehe,,Doakan langkahku.” Anak lelaki dewasa itu mencium tangan Uwak dan Mbok. Kemudian melambaikan tangan dan berlalu.
                                                ╬╬╬
            “Mbok, kita iki bukan pembantu.”
            “Biarkan waktu yang memberitahukannya Wak.”
            “Aku wes ora kenal anakmu iku Mbok.”
            “Dia tetap anakku Wak. Keponakanmu.”
            “Sudah satu tahun kita hidup perpura-pura menjadi pembantu. Tingkah lagat dia yang kasar, tutur bahasanya yang tidak sopan karo wong tuo. Iku bukan ponakanku yang aku didik dulu.” Mbok menyadari apa yang diucapkan Wak Bejo memang benar. Sudah setahun ia dan Wak Bejo hidup perpura-pura menjadi pembantu demi anak kecilnya yang dulu ia cintai. Tetapi, sampai sekarang pengorbanan itu masih sia-sia. Anaknya tidak akan mengenalnya. Kecelakaan telah membuatnya lupa segalanya. Meskipun sekarang anaknya telah menjadi pengusaha sukses, mempunyai rumah yang mewah, dan tentunya Mbok dan Uwak sebagai pembantu, yang rela pergi ke kota meninggalkan rumah setelah mendengar “kebanggaannya” mengalami kecelakaan. Apalah arti itu semua, jika kini anaknya telah tiada dalam ke-ada-annya. Dengan keputusasaan, Mbok melangkah menuju kamar. Ia ingin menumpahkan segala rasanya selama ini. Ia ingat benar bagaimana dulu ia sering memukul anaknya dengan sapu ketika dia berbuat kesalahan, karena Mbok ingin mendidiknya menjadi lelaki yang bertanggungjawab dan bisa menjaga Mbok dan Uwak dalam masa tua. Mbok juga masih ingat, betapa besar usahanya membiayai anaknya hingga menjadi seorang Sarjana. Mbok berharap, agar anaknya bisa memjadi kebanggaan keluarga. Mbok menangis. Mbok merindukan anaknya. Mbok mencium wangi melati semerbak, seperti saat-saat ketika suaminya dulu memberinya segenggam melati setiap malam. Mbok merasakan suaminya berada di sisinya dan mendengar semua yang Mbok rasakan. Mbok membalik bantalnya, Mbok melihat ada melati segar di bawah bantal Mbok.





                                                                             Salam Penjaga Kampoeng,


                                                                                          Husniatin Sholihah






















                                                                                               

Skenario Merah Putih



Persiapan proklamasi. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro, dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
     Detik-detik proklamasi, Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln. Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Akhirnya, pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945 tahun Masehi, pukul 10:00 WIB Bung Karno yang didampingi Bung Hatta bertempat di Pegangsaan Timur 56 Jakarta pusat, atas nama bangsa Indonesia membacakan proklamsi kemerdekaan. Soekarno membaca naskah Proklamasi yang sudah diketik Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta.
           
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan
 Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., di-
selenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang se-
singkat-singkatnja
                                                        Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 45
                                                                    Atas nama bangsa Indonesia.
                                                                      Soekarno/Hatta

Kemudian berkibarlah bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, istri Ir. Soekarno. Ketika menjahit bendera pusaka Indonesia tersebut, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya yang pertama. Di karenakan kondisi fisiknya dan juga karena ukuran bendera yang besar, pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari. Berulang kali Ibu Fatmawati menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang dijahitnya itu. Titik-titik air mata beliau yang tumpah pada bendera pusaka Indonesia, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu. Inilah bnetuk sumbangan perempuan Indonesia kepada negaranya tercinta pada masanya. Setiap hari, sejak Proklamasi Kemerdekaan, Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati tersebut selalu dikibarkan tidak hanya di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan Timur 56, tetapi juga di seluruh jiwa rakyat Indonesia sebagai bukti kemerdekaannya.
Riuh tepuk tangan penonton menggema di seluruh aula SMA Padamu Negeri. Pertunjukan yang dimainkan siswa-siswi SMA Padamu Negeri dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI itu berlangsung meriah, terbukti dengan banyaknya decak kagum diantara murid sendiri, guru, dan walid murid yang hadir. Sungguh pertunjukan dari anak bangsa yang begitu membanggakan.
“Selamat ya..acting kamu tadi membuatku bangga padamu Lan,”
“Terima kasih. Tapi acting kamu juga hebat, apalagi waktu kamu memerankan Ir.Soekarno yang sedang membaca teks proklamasi, itu membuatku merinding..hihi”
“Ah! nggak usah berlebihan gitu memujinya Lan…”
“Kamu pantas memerankan Ibu Fatmawati, meskipun Ibu Fatmawati yang sebenarnya matanya nggak sipit gitu..hahaha”
“aUCH!!” teriak Bintang sambil melihat pinggangnya yang telah memerah
Belum sempat Bintang mengejar Lan-lan yang berlari, beberapa cewek telah lebih dulu mengerubuti Bintang untuk memberi selamat atau sekadar mencari kesempatan menyentuh tangan Bintang, cowok paling populer di SMA Padamu Negeri.  Tidak lama kemudian Gank Miss Pesona dengan jalannya yang berlebihan itu mendekati Bintang, secara spontan cewek-cewek yang mendekati Bintang mundur teratur.
“Oh Bintang.., kamu cocok jadi artis”
“Iya, iya, penampilanmu di panggung tadi sungguh mempesona”
“Iya, akan lebih bagus lagi kalo tidak ada si sipit Lan-lan yang berperan jadi istrimu. Seharusnya aku yang lebih pantas kan…iya kan…”
Melihat wajah Bintang yang mengerut, sudah dapat ditebak bahwa dia sangat ingin pergi dari hadapan Miss Pesona dan anak buahnya yang sukanya menjelek-jelekkan orang lain. Gaya bicaranya yang manja dan bahasa tubuhnya yang meliuk-liuk membuat Bintang muak melihatnya. Bintang lebih suka menyebutnya cewek endel bin uendel. Nggak pernah terbayang dipikiran Bintang untuk menjadikan Miss Pesona menjadi pacarnya, meskipun berkali-kali dia mengunggapkan perasaannya bahkan memohon-mohon agar Bintang mau menjadi pacarnya. Banyak teman Bintang yang bilang bahwa hanya cowok bego yang nolak Miss Pesona, tapi bagi Bintang hanya cowok begolah yang mau menjadi pacar Miss Pesona.
“Mengapa sich hanya Bintang saja yang diberi selamat? Actingku kan juga tidak kalah menawannya…”
“Huh u hu..kamu itu hanya sebagai pemain pembantu tau!”
“Eit jangan salah, tanpa Sayuti Melik, Ir. Soekarno tidak akan bisa membaca teks proklamasi. Jadi, aku ini sangat berjasa bagi Bangsa Indonesia.”
Miss Pesona segera meninggalkan Bintang karena kedatangan Deo. Deo nampak kecewa karena actingnya dianggap remeh oleh Miss Pesona. Sebenarnya Bintng kasihan melihat ekspresi Deo yang melas, tapi jujur Bintang senang karena secara tidak langsung kedatangan Deo telah mengusir Miss Pesona yang menyebalkan itu. Sudah sejak lama Deo yang terkenal gaya bicaranya yang lebay itu menaruh hati dengan Miss Pesona. Akan tetapi, tidak sedikitpun Miss Pesona melirik Deo.
***
“Mengapa jam segini kamu baru pulang Lan?”
“Habis ikut ekstra nek”
“ekstra apa?”
“Piano nek”
“Bukannya kamu sudah mahir bermain piano?”
“Iya nek, tapi di sekolah levelnya lebih tinggi”
Bukan pertama kali Lan-lan berbohong kepada neneknya, ini ia lakukan agar neneknya tidak mengirimnya kembali ke Cina ke rumah orangtuanya di sana. Lan-lan sudah terlanjur cinta tinggal di Indonesia, apalagi semenjak mengenal Bintang. Berkali-kali neneknya mengingatkan agar ia jangan terlalu dekat bergaul dengan orang pribumi, itu sebutan nenek Lan untuk orang Indonesia asli. Entah dendam apa yang membuat nenek Lan sangat membenci orang Indonesia, padahal dalam sejarah, Indonesia tidak pernah berperang melawan Cina.
***
“Kamu tidak kapok kan bermain drama?”
“Aku sangat mencintai dunia pertunjukan, drama, teater. Aku tidak mau meninggalkan ini semua Bin.”
“Aku juga. Rasanya aku ingin selalu melakonkan karakter yang berbeda-beda ditiap pertunjukkan. Aku ingin menjadi pemain drama professional, bisa bermain sampai ke luar negeri membanggakan negeriku tercinta.”
“Auch!! Mengapa kamu selalu mencubitku…?!”
“Aku cuma ingin menguji acting kamu ko, acting kesakitan, hhaaha” Sinar matahari siang itu seakan terasa sejuk menerpa tubuh Bintang dan Lan. Hampir setiap jam istirahat mereka bertemu di belakang sekolah, bercerita ataupun sekadar bermain canda di samping gundukan batu besar yang mereka beri nama “Batu Persaudaraan” mereka mengecat batu itu dengan cat berwarna merah putih dan melukis bintang berwarna kuning di bagian atasnya, mereka mengartikan batu itu sebagai lambang persaudaraan antara dua bangsa.
***
“Eh bro, semakin hari gwe liat loe semakin akur aja sama Si sipit itu, jangan bilang loe suka ama dia ya…”
“Emang kenapa kalo aku suka ama dia, nggak ada hukumnya kan?”
“Tapi kan dia cina bro..cina”
“Yang aku tahu, meskipun dia orang cina, tapi rasa nasionalismenya lebih tinggi daripada kita yang orang Indonesia asli”
Bintang memang paling tidak suka melihat ada temannya yang membeda-bedakan suku. Beda kastalah, beda darahlah, beda prestise. Sebagai manusia, kita adalah makhluk yang berbudaya. Kita tinggal dinegara yang mempunyai beragam suku, adat istiadat, dan itu bukanlah pembeda, justru sebagai penguat tali persaudaraan lewat keberagaman dari perbedaan tersebut. Tidak sewajarnya kita memberi garis pemisah diantara berbagai budaya, termasuk budaya luar.
Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia belum berakhir, SMA Padamu Negeri 2 Jakarta telah menyiapkan serangkaian lomba untuk memperingati hari kemerdekaan yang tiap tahun ditunggu-tunggu seluruh penduduk Indonesia. Bintang sebagai ketua panitia mulai menggalang dana dari iuaran siswa beberapa bulan sebelumnya. Lomba yang disiapkan mulai dari lomba panjat pinang, balap bakiak, makan kerupuk, balap karung, perang bantal, dan pecah balon. Dan untuk guru-guru, tidak lupa panitia menyiapkan lomba tarik tambang.
“Kamu jadi ikut lomba makan krupuk kan Lan?”
“Hm..aku ragu Bin, apa teman-teman tidak akan menertawankanku, ‘Hei ada Si sipit makan krupuk…”
“Aku pasti akan bangga kalau kamu mau ikut lomba besok pagi. Yang aku tahu, tidak ada peraturan hanya orang Indonesia saja yang boleh ikut lomba 17 agustus. Indonesia telah merdeka dan kebahagiannya boleh di rasakan siapa saja, tidak hanya rakyat Indonesia.”
***
Bintang tidak menyangka bahwa obloannya dengan Lan-lan di gundukan taman belakang sekolah waktu itu adalah akhir dari pertemuan mereka. Lan-lan tidak lagi ada di bangku kelasnya, setiap hari Bintang memandangi kursi yang biasa di duduki Lan-lan. Ya bangku paling belakang. Semua teman sekelas terlihat senang dengan ketidakhadiran Lan-lan, kecuali Bintang. Terlihat jelas bahwa ia sedang memikirkan gadis sipit yang sering lewat dalam mimpinya itu. Seminggu kemudian, baru Bintang tahu kalau Lan-lan telah diboyong neneknya ke Cina karena neneknya mengetahui bahwa Lan-lan sering membohongi neneknya. Lan-lan memang sering bercerita mengenai neneknya yang begitu benci dengan orang Indonesia. Karena itulah setiap kali Bintang ingin ke rumah Lan-lan, dia selalu melarang dan lebih suka bertemu di sekolah. Sebenarnya Bintang menyayangkan kepergian Lan-lan yang mendadak, tanpa pamit. Tapi Bintang mencoba mengerti kondisi Lan-lan saat itu. Wajar Lan langsung menyetujui di boyong neneknya ke Cina, karena yang Bintang tahu bahwa Lan adalah gadis yang baik, tidak mungkin mengecewakan neneknya yang selama ini telah merawatnya karena kesibukan orangtuanya.
“Guwe turut berduka cita bro atas kepergian Si sipit”
“Emangnya Lan-lan meninggal apa, huu dasar!” Bintang memukul kepala Deo yang sore itu tiba-tiba udah nangkrik di ruang tamu rumah Bintang. Deo memang sahabat karib Bintang. Deo satu-satunya teman yang sering bermain di rumah Bintang, bahkan terkadang menginap beberapa hari. Jika di tanya kenapa senang sekali di rumah Bintang, apa nggak di cari orangtua??. Dia selalu menjawab ”gue kan sayang ama elu Bin, elu sahabat terbaik gue” Deo selalu mengucapkannnya dengan memasang wajah super cute. Itu sich hanya tipu muslihat saja. Bintang juga tahu kalau sahabatnya itu sering main ke rumahnya karena banyaknya makanan yang tersedia di rumah Bintang. “Mama lue jago masak ya bro, beda ama nyokab guwe” itu juga yang sering diucapkan Deo sembari menyantap habis makanan di kulkas, padahal udah jelas makanan yang ia makan itu di beli dari Supermarket. Dasar Deo tukang makan! .
“Kali ini guwe ke rumah lue membawa wasiat bro” Bintang tidak menghiraukan ocehan temannya itu. Pasti cuma akal-akalan Deo saja, seperti biasa, batin Bintang. Tapi Bintang kaget ketika Deo mengulurkan sebuah amplop putih dengan hiasan pita merah putih. “Nih buwat loe” Bintang membuka surat itu, begitu terkejutnya dia ketika ia membaca inisial pengirimnya. Ya, gadis sipit yang mengusik tidurnya di hampir setiap malam, Lan-lan. “Maaf bro, guwe baru ngasih surat ini sebulan setelah kepergian Lan, karena ini permintaannya” Ada degup jantung yang terpacu begitu cepat, Bintang tidak menyadari bahwa degupan itu berasal dari jantungnya. Bintang mencoba menarik nafas, berusaha menenangkan perasaannya yang galau.
Minggu melewati bulan dan bulan bergulir menjadi tahun. Kini, Bintang telah menjadi seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Jakarta. Setelah Bintang melewati hari-hari semenjak kepergian Lan empat tahun silam, dia tumbuh menjadi lelaki dewasa yang berprinsip. Di semester awal kuliah, Bintang aktif dalam organisasi kemahasiswaan dan giat mengikuti kegiatan di luar kampus, terutama yang menyangkut seni pertunjukkan.
“Bro, ada tawaran manggung buat loe, aku yakin loe pasti nggak akan nolak” Malam itu entah ada angin apa Bintang belum juga memejamkan mata, padahal biasanya lewat jam 23.00 dia sudah terlelap di kasur empuknya. Deo tiba-tiba menelephonnya. Sudah beberapa bulan kawannya yang aneh itu tidak menghubunginya, karena sekarang mereka tinggal di kota yang berbeda. Deo menetap di Yogya dan melanjutkan kuliah di sana. “Memang manggung di mana sich kok loe heboh amat. Penyakitmu dari dulu nggak sembuh-sembuh” Deo seolah tersetrum kabel berkekuatan 500 watt ketika mendengar kata “Guang Zhuo” Yups Cina! Tanpa pikir panjang Bintang langsung menyetujui tawaran Deo untuk ikut dalam pertunjukkan teater yang akan dipentaskan di Cina itu. Seolah ada bisikan yang mengatakan bahwa Bintang harus ikut.
Beberapa hari menjalani latihan teater di basecamp, Bintang semakin resah menyambut hari keberangkatannya ke Cina, antara takut dan senang. Bintang yang tergabung dalam regu “Sandyakala” berlatih teater mati-matian, ini akan menjadi pertunjukan terhebat, membawa nama bangsa ke negeri orang. Seolah pertunjukkan ini sebuah perang yang mempertaruhkan nama bangsa. Hari yang ditunggu regu “Sandyakala” akhirnya tiba. Perjalanan ke Cina sekitar ….Setelah melepas lelah, malam harinya semua tim panitia dari cina mempersiapkan segala keperluan teater. Seluruh anggota “Sandyakala” berdoa memohon kelancaran pertunjukan. “Sekarang kita sambut perwakilan dari Indonesia ‘Sandyakala’ yang akan membawakan teater berjudul ‘Skenario Merah Putih’ “. Satu persatu pemain melakonkan setiap adegan, dialog, dan babak dalam teater yang mereka mainkan. Sesaat kemudian bendera kebangsaan Merah Putih dikibarkan. Bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kalinya di tengah bumi Cina. Warna Merah menyala merupakan lambang keberanian, sedangkan warna putih merupakan lambang kesucian. Secarik kain yang berwarna merah putih tersebut telah  menjadi bendera pusaka bangsa Indonesia. Dan itulah akhir cerita yang diiringi ribuan tepuk tangan dari seluruh penjuru negara yang memenuhi gedung pertunjukan di Cina.
            “Ada wartawan dari Cina yang ingin mewawancarai anda, katanya dia sangat tertarik dengan pertunjukan dari Indonesia, sekarang wartawan itu menunggu anda di lobi”
          “Maaf, bolehkan saya mewawancarai anda seben….” Wartawan itu tidak melanjutkan ucapannya. Dan Bintang yang baru saja ingin duduk, juga menghentikan gerakannya. Tatapan itu, tatapan yang telah lama hilang, seakan telah kembali tertangkap pupil matanya. Bintang ragu apakah benar ia mengenalnya karena banyak sepasang mata sipit di Cina. “Bintang” Ya sekarang Bintang yakin bahwa ia mengenal gadis dihadapannya itu. Ia telah menjelma bagai angsa yang cantik dengan bulu yang indah membalut seluruh tubuhnya. “Lan-lan” Ternyata selama ini Tuhan tidak memisahkan mereka, Tuhan hanya mengatur jarak diantara mereka. Bintang dan Lan duduk di lobi, sejenak mereka membisu, mungkin mereka bingung harus memulai obrolan dari mana setelah empat tahun terpisah. ”Batu Persaudaraan..” Bintang dan Lan bersamaan mengucapkan kalimat yang sama, mereka saling melempar senyum.
            “Bagaimana kabar nenek kamu…apakah masih hidup??”
            aUchh!! Masih seperti empat tahun yang lalu, Si sipit Lan-lan selalu mencubit pinggang Bintang setiap kali Bintang bertingkah. Dan Bintang dengan ekspresi wajahnya yang aneh melihat pinggangnya memerah.
“Besok aku tunggu di belakang gedung pertunjukan ya..” Lan-lan masih juga belum berubah, batin Bintang. Gadis itu selalu lari setelah mencubit pinggangnya. Padahal tadi katanya ingin wawancara. Hm dasar gadis aneh.
Bintang tidak sabar menunggu hari esok. Pagi-pagi sekali ia bangun dan berdandan sangat rapi, tidak lupa melewatkan parfum favoritnya. Ini akan menjadi hari paling membahagiakan bagi Bintang. Bintang berharap ia lah yang datang terlebih dahulu sebelum Lan. Tapi ia salah, Lan telah menunggunya 15 menit.
“Kamu ingin mengajakku kemana?”
“Ayo ikut saja” Lan mengandeng tangan Bintang berlari melewati jalan-jalan sempit, tikungan, melintas jalan raya, hampir saja Bintang terserempet mobil dari arah yang berlawanan. Tapi Lan masih saja tidak menghentikan jalannya, bahkan lebih kencang lagi Lan berlari sambil terus mengandeng tangan Bintang. Akhirnya Lan menghentikan langkahnya di sebuah taman.
“Lihatlah apa yang aku temukan di sini” Lan menunjukkan kepada Bintang sebuah batu besar, mirip gundukan tanah.
“Ini kan hanya sebuah batu, tidak ada istimewanya??”
“Tidak lagi setelah kita berubahnya” Lan mengeluarkan cat dari balik pohon yang ada di sebelah batu itu.
“Ayo kita mengecatnya, menjadi ‘Batu Persaudaraan’ “Bintang nampak bingung dengan tingkahnya, ia mengoyak rambut Lan sebagai isyarat bahagianya.
“Kamu tidak ingin tahu kenapa nenekku begitu benci dengan orang Indonesia??”
“Sebenarnya sejak dulu aku ingin menanyakan hal itu, tapi aku takut kamu mencubit pinggangku lagi, hehe” Sambil terus mengecat, Lan menceritakan alasan mengapa neneknya dendam setengah mati dengan orang Indonesia. Neneknya pernah dikecewakan lelaki dari Indonesia. Ketika neneknya masih muda, ia mencintai pemuda Indonesia, mereka kemudian menikah, belum sampai mereka mempunyai anak, suaminya meninggalkannya dengan alasan tidak kuat kalau harus membangun rumahtangga di tengah ketidaksetujuan mertuanya, yaitu buyutku. Makanya, nenekku sangat membenci orang Indonesia. Katanya pemuda Indonesia tidak pandai melewati rintangan hidup.
“Tapi kan nggak semua pemuda Indonesia seperti itu, contohnya aku” Belum sempat Lan mencubit pinggang Bintang, Bintang telah hilang dari samping Lan, Bintang lari duluan.
“Weks…ayo cubit aku kalau bisa…..” Siang itu menjadi saksi perjumpaan anak manusia dari dua bangsa yang telah lama terpisah. “Batu Persaudaraan” yang mereka ukir di bumi Cina akankah berubah menjadi “Batu Percintaan”. Entahlah, yang jelas hanya mereka yang tahu.

Melati di bawah bantal Mbok

(Sebelum membaca cerpen ini, atur posisi duduk anda!)    
      
            Semilir lembayung fajar menerpa wajah keriput wanita yang setiap hari dihinggapi rasa pedih itu. Entah seberapa jauh pikirannnya menjelah masalah yang setahun lalu menimpanya. Hanya tatapan sayup yang terpancar semenjak kejadian itu.
            “Mbok iki ingin meracuni saya?!! Masakan kok hambar”. Tidak ada sahutan dari wanita yang sudah tidak muda lagi itu, tapi jelas terlihat ada kepedihan di wajahnya.
            “Nanti jangan lupa burung perkutut saya diberi makan, bilang pada Wak Bejo!”
            Injeh Tuan,” satu kata singkat itu yang mewakili kepasrahan Mbok Jah selama setahun ini. Apapun yang disuruh dan diminta Tuan, Mbok Jah tidak pernah sekalipun berkata tidak, meski itu menyakiti Mbok Jah. Sering Wak Bejo, Kakak tertua Mbok Jah  yang hidup bersama Mbok Jah setelah bercerai dengan istrinya, memarahi Mbok Jah agar jangan selalu menurut apa saja yang disuruh Tuan.
            “Mbok iku jangan mau dibentak-bentak”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Kita iki wes terlalu jauh Mbok”
            “Iya Si Mbok ngerti”
            “Si Mbok iki terlalu memanjakannya”
            Iku lo Wak perkututnya cepat dikasih makan, nanti Tuan marah.” Percakapan Mbok Jah dan Wak Bejo hampir selalu tak berujung. Mbok Jah memang terlalu sabar menuruti semua keinginan Tuan, lebih tepatnya Mbok Jah terlalu menyayangi Tuan. Ada ketakutan setiap kali Mbok Jah ingin menolak keinginan Tuan. Sedangkan Wak Bejo dengan sikapnya yang tegas, akan marah ketika Tuan menyuruhnya dengan kasar. Pernah suatu ketika, Tuan memarahi Wak Bejo karena dianggap tidak becus merawat burung perkutut kesayangannya. Padahal sehari sebelumnya, Tuan memberi makan burung perkututnya dengan makanan baru yang katanya lebih mahal agar perkututnya berkicau merdu. Setelah itu, perkutut kesayangan Tuan sakit, badannya ringkuk tidak bergerak. Tuan dengan segala alasan dan makian menyalahkan Wak Bejo. Wak Bejo pun marah karena sebelumnya ia sudah mengingatkan bahwa Kliwon hanya suka makan beras ketan ireng, Tuan tidak menghiraukan, malah menganggap Wak Bejo sok tau.
            “Kliwon itu sudah aku pelihara bertahun-tahun, tahu apa Wak Bejo tentang Kliwon??! Wak Bejo di sini baru setahun. Jangan sok menasehati apa yang harus saya lakukan dan tidak.” Kurang lebih begitulah pertengkaran Tuan dan Wak Bejo karena burung perkutut, Si Kiwon.
            “Wak, aku iki khawatir karo Tuan”
            “Khawatir kenapa lagi Mbok?”
            “Umur Tuan iku wes ora muda, tapi kok durung nikah Wak?”
            “Mbok tidak usah ikut campur, apa Mbok ingat waktu Wak tanya mengapa rumah ini sepi, tidak ada anak maupun istri”
            “Iya, Mbok ingat betul Wak,” sambil Mbok mengingat-ngingat kejadian waktu Tuan tiba-tiba marah karena pertanyaan Wak. Mbok ingat benar betapa garang tatapan Tuan saat itu, seperti hendak menerkam tubuh Wak yang sudah ringsut. Setelah itu, baik Mbok Jah maupun Wak Bejo tidak pernah lagi menyinggung masalah istri. Meskipun sudah lama Mbok Jah dan Wak Bejo mengenal Tuan, terkadang mereka seperti baru mengenal sosok Tuan. Bekerja mati-matian sejak pagi hingga larut malam, seperti Tuan ingin membahagiakan seseorang dengan kemapanan yang ia raih sekarang.
            “Mbok, bersihkan buku-buku di perpustakaan saya, jangan sampai ada buku yang rusak.” Jelas terlihat kelelahan telah menghinggapi badan Mbok yang sudah tua, tetapi tidak ada perasaan lelah bagi Mbok ketika melakukan apa yang disuruh Tuan. Mbok melakukan semua itu dengan ikhlas. Satu per satu Mbok membersihkan buku-buku dalam rak dan menatanya dengan rapi. Tangan Mbok Jah tiba-tiba terarah pada buku tua yang bagian bawahnya sudah tidak utuh lagi dimakan rayap. Buku itu setua umur Mbok Jah. Warnanya telah memudar, seperti wajah Mbok Jah yang sudah tidak cantik lagi. Mbok membuka buku itu, penasaran mengapa Tuan menyimpan buku yang usianya jauh diatasnya. Dalam buku itu terselip sebuah surat berwarna abu-abu. Surat untuk Fatimah.

Untuk Fatimah,
                  Aku tidak sepandai arsitektur yang mampu mendesain gedung tua menjadi begitu megahnya. Aku pun tidak semahir penyair yang bisa mengolah kata-kata dengan indahnya. Aku hanya mampu menulis surat sederhana ini untuk mengatakan apa yang aku rasakan terhadapmu Fatimah. Jangan tertawa dan jangan marah ketika aku mulai menuliskan semua perasaanku.
                  Setiap pagi aku melihatmu menjemur pakaian di belakang rumah, aku selalu membayangkan akulah yang menjadi pakaian-pakaian itu, yang setiap pagi kamu jemur. Aku rela terbakar panasnya matahari demi selalu bersamamu Fatimah. Setelah itu, kamu selalu pergi ke pasar dengan menjinjing keranjang merah. Pulangnya keranjang itu telah penuh berisi sayuran dan ikan. Ingin sekali rasanya aku menjadi keranjang itu yang selalu menyentuh tanganmu Fatimah.
                        Lama aku pendam rasa ini. Rasa yang entah apa kamu juga merasakannya? Sepenuhnya aku serahkan padamu untuk menjawabnya Fatimah.

            Mbok Jah menangis membaca surat itu, tangannya gemetar seolah merasakan kegalauan dan ketakutan yang dirasakan Tuan ketika menulis surat itu beberapa tahun yang lalu. Mbok menceritakan apa yang ditemukannya siang itu kepada Wak Bejo. Sekarang mereka tahu alasan mengapa sampai sekarang Tuan belum menikah. Karena Tuan mencintai Fatimah. Tuan memendam perasaannya selama bertahun-tahun. Jelas ada ketakutan dihati Tuan untuk mengungkapkan perasaanya kepada Fatimah, terbukti sampai sekarang surat itu belum tersampaikan. Mbok Jah masih saja menangis. Ia membayangkan bagaimana perasaan Tuan jika mengetahui sekarang Fatimah telah menjanda.
            “Mengapa semua ini menimpa Tuan Wak? Opo salahku Wak?”
            “Mbok, iki kuwi wes ono seng ngatur” Mbok Jah menatap sendu Wak Bejo ditengah heningnya rumah Tuan yang mewah. Rumah berlantai 2 yang dipenuhi barang-barang mahal itu, terasa bagai gubuk reot yang diterpa gerimis dingin bagi Mbok Jah dan Wak Bejo malam itu.
Sikap Tuan yang kasar dan ucapannya yang tidak sopan sering membuat Wak Bejo berniat mengajak Mbok Jah pulang ke desa. Tetapi Mbok Jah selalu mengatakan bahwa selama Tuan masih belum menikah, Tuan masih menjadi tanggung jawabnya.
                                                            ╬╬╬
            “Uwak mau membelikan aku burung perkutut ya…”
            “Tapi kamu harus janji dulu, jangan nakal”
            “Iya. Kalau aku sudah besar nanti akan membahagiakan Uwak dan Mbok.” Matahari belum terang terlihat oleh mata, seorang anak dan Uwaknya sudah mengawali hari mereka dengan kasih sayang.
            “Ayo makan dulu……nasi jagung dan teri pepes sudah matang, kalian tidak akan bisa membeli perkutut dengan perut keroncongan” Pagi itu terasa hangat ditengah kebahagian sebuah keluarga yang sederhana. Kampung yang permai dengan rumah yang damai dikelilingi sawah dan pepohonan. Sayup-sayup angin menyelinap jendela rumah, sesekali melihat kelucuan seorang anak kecil yang memakai dasi, bercita ingin memakainya kalau sudah dewasa. Gurauan Uwak dan Mbok menggodanya menambah kelucuan anak laki-laki itu. Anak itu seolah tidak sabar menjadi dewasa.
            Sekarang setiap pagi sudah terdengar nyanyian merdu Sang perkutut. Mbok sering marah jika Uwak dan anak kecil itu seharian memandangi perkutut sampai lupa segala.
            “Uwak iku jangan mengajarkan anak menjadi malas.” Kemarahan Mbok meledak ketika Uwak mengulur-ngulur waktu ke sawah demi perkutut. “Mau makan apa kita Wak kalau Uwak tidak ke sawah. Kita semua akan kelaparan, begitu juga perkutut kesayanganmu itu.” Membayangkan perkututnya akan mati kelaparan, Uwak baru dengan sigap mengambil cangkul dan beranjak menuju sawah.
            “Malam ini aku tidur lagi dengan Uwak ya….” Longlongan anjing malam menjadi saksi betapa dekatnya hubungan Uwak dan ponakannya. Tubuh kecil itu menyusup ke dalam sarung hitam kelabu Uwak yang sudah tidak wangi lagi karena telah melewati malam-malam sebelumnya. Tetapi, anak kecil itu seperti tidak menghiraukan bau sarung itu, yang ia rasakan sarung Uwak membuatnya nyaman, hangat, dan melelapkan kantuknya. Kedekatan Uwak dan anak kecil itu seolah mengalahkan hubungan darah seorang bapak dan anaknya. Memang semenjak Sang anak hidup tanpa sosok bapak, Uwaklah yang mengajarkannya berbagai pelajaran hidup. Anak kecil itu mewarisi darah Uwaknya. Ada satu peristiwa yang menyadarkan Uwak bahwa darahnya telah mengalir pada anak kecil itu. Ketika suatu pagi, Uwak hendak pergi ke sawah, ia kebingungan mencari sepatu boot yang selalu dipakainya ketika pergi ke sawah, susah payah ia mencari ke berbagai sudut rumah. Kemudian Uwak melihat anak kecil itu dengan kaki yang kecil memakai sepatu boot Uwak sambil berkata kepada teman-temannya “Ini sepatu boot Uwakku, Uwakku sangat gagah jika memakainya. Aku ingin seperti Uwak.” Setiap pagi, Uwak tidak akan pergi ke sawah sebelum menghirup aroma kopi tumbuk kesukaannya, gaya minum kopi Uwak dengan membalik gelas di atas dan meminum kopi dari mangkirnya, membuat anak kecil itu sering diam-diam meminum kopi Uwak yang masih panas di meja dan menirukan cara Uwak meminumnya.
            Kehadiran anak kecil itu menyempurnakan hari-hari Uwak dan Mbok. Mbok lebih sering marah dengan semua tingkah anak kecil itu, sedangkan Uwak selalu tertawa lebar jika melihat anak kecil itu bertingkah dengan keluguannya. Tidak jarang Mbok memukul anak kecil itu dengan sapu. Pernah suatu hari, Mbok melihat baju-baju di jemuran berserakan di tanah. Mbok langsung mencari anak kecil itu sambil membawa sapu dan bersiap memukulnya. Anak kecil itu berlari mencari Uwaknya, berteriak-teriak dan akhirnya bersembunyi di balik badan Uwak. Uwak hanya tersenyum. Anak kecil itu sering mengadu kepada Uwak, bahwa ia terkadang benci dengan Mbok. “Aku tidak sayang dengan Mbok karena Mbok juga tidak  sayang dengan aku”. Uwak hanya tersenyum mendengarnya.
            Ketika benar-benar anak kecil itu marah kepada Mbok, ia sering menyelinap masuk ke kamar Mbok, hanya satu tujuannya, mengambil bunga melati yang ada di bawah bantal Mbok. Anak kecil itu tahu bahwa Mbok sangat menyukai melati. Mbok selalu menaruh melati di bawah bantalnya. Jika telah layu, Mbok mengganti dengan melati yang masih segar. Mbok telah melakukannya selama delapan tahun. Itu Mbok lakukan sebagai bentuk kerinduannya kepada Sang suami. Suami Mbok setiap malam menjelang tidur selalu memberikan segenggam melati dan berkata “Mbok, jadilah wanita seharum melati” Tapi semua alasan itu, terlalu jauh untuk dapat dipahami anak kecil itu. Ketika anak kecil itu merasakan kedekatan dan kasih sayang Mbok, anak kecil itu menaruh banyak melati segar di bawah bantal Mbok sampai berserakan di kasur, ia memetik melati yang tumbuh subur di belakang rumah. Teringat kejadian, ketika anak kecil itu hendak mengungkapkan rasa sayangnya kepada Mbok, karena Mbok membelikannya sepatu boot, tapi anak kecil itu tidak menemui satupun melati yang mekar. Akhirnya anak kecil itu menggantinya dengan bunga sedap malam. Mbok langsung bertanya kepada anak kecil itu mengapa ia lakukan itu. Dengan polos ia menjawab “Aku hanya ingin memberikan hadiah kepada Mbok, seperti Mbok membelikaku sepatu boot. Bunga melati di belakang rumah habis, jadi aku mencari bunga yang warnanya sama.” Mbok tersenyum, mata Mbok berair. Mbok sadar betapa ia menyayangi anak itu.
            Sekarang, anak kecil itu telah tumbuh menjadi lelaki dewasa. Ia telah menjadi Sarjana Pertanian. Ia telah siap mengarungi kehidupan, bekerja demi membahagiakan Uwak dan Mbok. Anak kecil yang sekarang telah berganti menjadi seorang lelaki dewasa itu pamit  pergi ke kota. Ia ingin mengadu nasibnya ke kota besar, Jakarta.
            “Uwak, Mbok, aku pamit pergi ke kota. Bekerja di sana, menjadi pengusaha yang sukses, punya rumah yang mewah, dan punya banyak pembantu untuk melayaniku. Hehe,,Doakan langkahku.” Anak lelaki dewasa itu mencium tangan Uwak dan Mbok. Kemudian melambaikan tangan dan berlalu.
                                                ╬╬╬
            “Mbok, kita iki bukan pembantu.”
            “Biarkan waktu yang memberitahukannya Wak.”
            “Aku wes ora kenal anakmu iku Mbok.”
            “Dia tetap anakku Wak. Keponakanmu.”
            “Sudah satu tahun kita hidup perpura-pura menjadi pembantu. Tingkah lagat dia yang kasar, tutur bahasanya yang tidak sopan karo wong tuo. Iku bukan ponakanku yang aku didik dulu.” Mbok menyadari apa yang diucapkan Wak Bejo memang benar. Sudah setahun ia dan Wak Bejo hidup perpura-pura menjadi pembantu demi anak kecilnya yang dulu ia cintai. Tetapi, sampai sekarang pengorbanan itu masih sia-sia. Anaknya tidak akan mengenalnya. Kecelakaan telah membuatnya lupa segalanya. Meskipun sekarang anaknya telah menjadi pengusaha sukses, mempunyai rumah yang mewah, dan tentunya Mbok dan Uwak sebagai pembantu, yang rela pergi ke kota meninggalkan rumah setelah mendengar “kebanggaannya” mengalami kecelakaan. Apalah arti itu semua, jika kini anaknya telah tiada dalam ke-ada-annya. Dengan keputusasaan, Mbok melangkah menuju kamar. Ia ingin menumpahkan segala rasanya selama ini. Ia ingat benar bagaimana dulu ia sering memukul anaknya dengan sapu ketika dia berbuat kesalahan, karena Mbok ingin mendidiknya menjadi lelaki yang bertanggungjawab dan bisa menjaga Mbok dan Uwak dalam masa tua. Mbok juga masih ingat, betapa besar usahanya membiayai anaknya hingga menjadi seorang Sarjana. Mbok berharap, agar anaknya bisa memjadi kebanggaan keluarga. Mbok menangis. Mbok merindukan anaknya. Mbok mencium wangi melati semerbak, seperti saat-saat ketika suaminya dulu memberinya segenggam melati setiap malam. Mbok merasakan suaminya berada di sisinya dan mendengar semua yang Mbok rasakan. Mbok membalik bantalnya, Mbok melihat ada melati segar di bawah bantal Mbok.





                                                                             Salam Penjaga Kampoeng,


                                                                                          Husniatin Sholihah